November 18, 2010

Tak seperti merpati, Bakrie Life selalu ingkar janji

JAKARTA. Asuransi Jiwa Bakrie (Bakrie Life) agaknya harus belajar kepada merpati, yang tak pernah ingkar janji. Maklum, kebiasaan menunggak pembayaran cicilan dana nasabah produk asuransi berbalut investasi Diamond Investa tampaknya sudah akut.

Yang terbaru, Bakrie Life belum juga membayar cicilan pokok ketiga (per September 2010) dan bunga sejak Juli hingga Oktober 2010. "Bakrie Life selalu terlambat bayar," keluh Anggota Tim Penyelamatan dan Pengembalian Dana Nasabah (TP2DN) Bakrie Life Freddy Koeshariono, Selasa (16/11).

Cicilan ketiga atau per September 2010 sebesar 6,25% dari dana setiap nasabah Danamond Investa. Ditambah bunga Juli hingga Oktober, diperkirakan total tunggakan Bakrie Life Rp 33 miliar.

Sebelumnya, pertengahan Oktober 2010 lalu, Bakrie Life sempat menyelesaikan kewajiban sebesar Rp 30 miliar. Namun pembayaran cicilan tersebut tidak berlanjut.

Lagi-lagi para nasabah hanya bisa pasrah seraya berharap Bakrie Life memiliki niat baik menyelesaikan masalah. "Padahal, restrukturisasi pembayaran ini merugikan kami, karena menurunkan manfaat bunga dari 13% menjadi 9,5%,” kata Freddy.

Menurut Anggota TP2DN Bakrie Life Yoseph, kewajiban Bakrie Life yang tersisa masih Rp 290 miliar kepada 250 orang nasabah Danamond Investa dengan nilai investasi di atas Rp 200 juta.

Sebelumnya, Kepala Biro Perasuransian Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan(Bapepam-LK) Isa Rachmatarwata mengatakan, Bakrie Life terlambat membayar cicilan karena belum mendapatkan dana. Menurut Isa, Bapepam-LK sudah melayangkan surat teguran ke manajemen Bakrie Life.

Direktur Utama Bakrie Life Timoer Soetanto menyatakan, Bakrie Lilfe berjanji akan menyelesaikan kewajibannya. “Keterlambatan kali ini terjadi karena dananya masih diusahakan. Mudah-mudahan tidak lama lagi,” kata Timoer kepada KONTAN melalui pesan singkat.

Sekadar mengingatkan, Bakrie Life gagal bayar atas produk Diamond Investa sebesar Rp 360 miliar. Sesuai Surat Kesepakatan Bersama, Bakrie Life menawarkan skema pengembalian dana dengan mencicil, yakni 25% di 2010, dibayar empat kali setiap akhir triwulan sebesar 6,25% dari dana nasabah. Sebesar 25% dilunasi pada 2011 dengan mekanisme serupa. Pembayaran terakhir sebanyak 50% di tahun 2012.

Seperti dikutip dari situs resmi www.kontan.co.id tertanggal 18 November 2011 : http://keuangan.kontan.co.id/v2/read/keuangan/52610/Tak-seperti-merpati-Bakrie-Life-selalu-ingkar-janji

Sweats the small stuff (nasihat bijak si pemalas)

Mendengar judul tulisan ini, mungkin kalian akan berpikir, mengerikan untuk membesar-besarkan hal kecil. Well, sometimes it is work. Maksud saya, tidak ada salahnya kan melihat hal kecil dari kacamata besar. Karena, hal kecil yang mungkin tercecer, kadang memberikan kebahagiaan. You'll never know.


Saya telah melampaui seperempat abad hidup di bawah bayang-bayang orangtua. Akhir tahun lalu tepatnya, saya memutuskan menjadi anak kos. Banyak hal yang hilang, tentunya. Taruhlah, saya tidak bisa seenaknya berganti-ganti pakaian atau boros menggunakan gelas. Saya juga harus menyediakan waktu untuk melakukan pekerjaan rumah, mencuci atau berbenah misalnya. Huf, melayani diri sendiri adalah makanan saya hari-hari belakangan ini. Tidak hanya itu, saya juga harus menyisihkan seperlima dari penghasilan saya setiap bulannya sebagai jurnalis untuk membayar ongkos sewa kamar kos. Belum lagi, memenuhi kebutuhan bulanan untuk perut buncit saya, termasuk ongkos ngebir dua kali dalam sepekan dan mengunjungi rumah kecantikan. Ya, begitulah harga sebuah eksistensi. Tak heran, sepekan jelang hari gajian saya harus menahan liur acap kali melewati kedai es krim favorit.


Tetapi, saya juga tidak bisa menafikan, ada banyak hal yang saya dapatkan. Privasi dan kebebasan. Saya sih tidak tahu apa lagi hal yang lebih menyenangkan dari memiliki privasi dan kebebasan, selain mewujudkan impian meniduri aktor papan atas Hollywood, seperti Adam Broddy, Channing Tatum, atau Paul Walker, tentunya? Bayangkan, kau bisa bertelanjang di atas tempat tidurmu sendiri tanpa khawatir seseorang akan terkaget-kaget saat membangunkanmu di pagi buta. Atau menangis semalaman setelah melihat pria yang kau cintai mengencani wanita yang jauh lebih cantik darimu. It's privacy! Kau juga tidak perlu lagi mengendap-endap masuk lewat pintu belakang rumahmu saat pulang dalam keadaan mabuk. Dan, kau mendapatkan kebebasan untuk menghisap ganja dan menonton aksi lucu Eddie Murphy setelahnya hingga terkencing-kencing.


I've got it all!


Saya menikmati hidup saya. Sungguh. Saya tidak menyangka, berdiam diri di kamar kos seharian hanya dengan mendengarkan daftar lagu favoritmu dengan kualitas suara headset yang oke sambil menyantap semangkuk koko crunch akan se-menyenangkan ini. Saya tidak menyangka, saya mendapatkan hak untuk tidak mandi di hari libur, merokok dalam posisi tidur, memutar empat judul film tanpa henti untuk ditonton semalam suntuk, menulis jurnal tanpa lampu baca, dan tidak ada yang menertawakan wajah tersipu malu saat membayangkan pria incaranmu bertelanjang dada. It's just awesome. Kau hanya menjadi dirimu sendiri tanpa mendengar ocehan yang sama setiap harinya dari wanita tua yang kau cintai saat memperingatimu, "berapa usiamu sekarang, nak?"


Saya menikmati hidup dari balik koran yang dibaca para penggila bisnis dan investasi. Saya menikmati malam-malam melelahkan yang saya habiskan bersama teman-teman fotografer dan komunitas vespa. Saya menikmati mentari sore dengan mengendarai rongsokan tua buatan tahun 1966 milik saya. Saya menikmati sindiran reporter "bau kencur" tentang tulisan ringan saya di situs jejaring sosial (anggap saja, dia hanya iri). Saya menikmati peran saya sebagai pengantar biskuit, masker, atau pakaian dalam ke daerah bencana. Saya menikmati (tidak benar-benar menikmati sih jelang PMS/pre menstruation syndrom) status lajang ini. Well, setidaknya saya tidak bermuram durja seperti penjudi yang kehilangan koin-koin emasnya.

November 10, 2010

Amuk Gunung Merapi, Nyuwun Pangapunten Dumateng Gusti

Sabtu, 6 November 2010, pukul 12.15 WIB saya tiba di Yogyakarta. Kota yang dikenal sebagai gudangnya pelajar ini mendadak berubah menjadi kota penuh debu. Ya, debu vulkanik yang dimuntahkan Gunung Merapi. Persis seperti yang disiarkan di stasiun televisi nasional: hujan debu dengan jarak pandang tidak lebih dari 10 meter.
Ah, saya hanya tidak menyangka saya berada di kota ini, begini. Sedih! Secara pribadi, bagi saya, kota ini menyimpan banyak kenangan. Termasuk, makanan istimewa tentunya. Tetapi, hari ini, saya kira, Yogyakarta hanya akan menyimpan airmata dari ribuan bahkan belasan ribu pengungsi yang terkena dampak amukan Gunung Merapi, isak tangis keluarga yang ditinggal mati korban “wedhus gembel”, dan kotak-kotak tanda simpati dari berbagai kalangan, termasuk dari teman-teman saya di Jakarta.
Sepiring nasi pecel sudah di hadapan saya. Bersama teman-teman dari Jakarta, yakni Eva, Kristina, Opik, dan Ardiles, kami menyantap makan siang di rumah makan sederhana-plus debu tentunya yang terletak di belakang Universitas Gajah Mada (UGM). Enak! Seperti biasanya, makanan yang disajikan di Yogyakarta selalu enak bagi lidah saya. Hanya, saya semakin tidak sabar bermandi hujan debu, berkeliling Yogyakarta.
Koordinasi kami, saya dan teman-teman dari Jakarta memang agak berantakan. Parahnya, kepanikan sudah meremas-remas kepala saya sejak malam keberangkatan. Adalah Kristina yang sama hebohnya dengan saya, dan Eva yang kelewat cuek. Beruntung dua jagoan kami, Opik dan Ardiles bisa diandalkan, menjadi penasehat sekaligus teman semalam suntuk menyetir hampir 12 jam.
Kami melintasi jalan raya Kaliurang (begitu papan jalan yang saya baca ketika melintas) menuju Muntilan, lalu Magelang. Pemetaan lokasi saya buruk, maaf, tapi saya memang membaca beberapa nama wilayah seperti; Mungkid, Muntilan, Magelang. Dan, seperti yang saya bayangkan, hujan debu di lokasi ini lebih lebat daripada Yogyakarta. Gumpalan putih di udara, debu setebal 10 sentimeter yang lengket dengan aspal, dan saya pun terbatuk-batuk setelah lupa menggunakan masker.
Keren!
Selama ini, pemandangan seperti ini cuma bisa saya saksikan di televisi dengan bayang-bayang reporter gagap plus heboh. Serius. Pemandangan langka ini merupakan kali pertama saya berada di daerah bencana, dengan bumbu haru dan bulu kuduk yang tak berhenti berdiri. Kalau pun saya mengabadikan momen di sela-sela kesibukan para pengungsi, dan relawan, semata-mata saya ingin mengabadikan “unhappy moment” ini. So, don’t get offended ya!
Beberapa wilayah yang saya lintasi tampak seperti kota mati. Candi mendut yang baru seumur hidup saya lihat itu tertutup debu putih. Di sepanjang jalan, di kiri dan kanan bahu jalan tepatnya, terpampang jelas pohon-pohon yang kuncup persis payung dalam posisi tertutup, beberapa tanaman mati, dan bangunan rusak, dan aspal jalannya persis arena meluncur-salju di Mal Taman Anggrek.
Di satu titik wilayah di Mungkid, teman saya-Kristina menyebutnya white christmas. Tidak salah! Kota dan seluruh pohon kuncupnya berbalut debu putih-tebal, listrik padam, sepi (karena keramaian hanya berpusat di posko-posko pengungsian) persis seperti menyaksikan kesedihan Ally McBeal melewati malam natal seorang diri.
Di salahsatu posko pengungsian, saya duduk di antara para pengungsi lansia. Mereka menghujani saya dengan pertanyaan, termasuk memaksa saya untuk mendengar pengalaman pahit mereka diusir Gunung Merapi. Saya sabar, mungkin pura-pura sabar. Maklum, 7 jam berdongeng selama Ardiles menyetir, dan 5 jam kemudian gantian saya yang menyetir, saya belum juga merebahkan tubuh barang 10 menit.
Dari satu posko pengungsian ke satu posko pengungsian lainnya, ternyata, adalah pekerjaan berat! Tenggorokan saya mulai terasa kering, dada saya sesak, sepertinya saya menghisap debu vulkanik. Kaki, tubuh, tangan, punggung, semuanya terasa ambruk. Tak heran, saya sempat terlelap pulas sepanjang perjalanan pulang dari posko terakhir menuju penginapan.
Ah, bahkan, Tjokorda (suami Happy Salma) yang rupawan sekalipun, saya kira, tidak mampu meredam keinginan saya untuk istirahat malam itu.
*****
Keesokan harinya, Minggu, 7 November 2001. Saya masih harus menyempatkan diri menyelesaikan kewajiban saya, menulis berita, sebelum bertolak kembali ke Jakarta. Saya duduk di teras depan, cafĂ© tempat penginapan. Saya memandang laptop-pinjaman dan telepon genggam di hadapan saya, sembari menyeruput cokelat panas dan menghisap rokok, saya berpikir, Yogyakarta sekali lagi menyita perhatian kita semua. “Nyuwun pangapunten dumateng gusti”.


Sekapur Sirih. Ikhlas untuk saudara-saudara di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Tetap semangat untuk relawan-relawan. Doa kami bersama kalian.

Marzuki Alie, Riwayatmu Kini

Sontak, saya kaget melihat salahsatu berita di situs www.kompas.com bertajuk “Pindah Saja ke Daratan.” Ketua DPR Marzuki Alie selaku narasumber, secara eksplisit menyebut, bencana gempa yang diikuti dengan tsunami merupakan konsekuensi warga yang tinggal di daerah kepulauan. Dalam cerita ini, tentu yang saya maksud adalah bencana gempa-tsunami di Pulau Pagai, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, 25 Oktober 2010 lalu.
Marzuki Alie, kader dari partai penguasa, yakni Partai Demokrat, sebelumnya duduk sebagai Sekretaris Jenderal Partai Demokrat. Tak lama setelah itu, dia diberikan mandat sebagai Ketua DPR periode 2009-2014 persis setelah kemenangan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono sebagai presiden dan wakil presiden.
Saya ingat proses pencalonan Marzuki Alie dari Sekjend Partai Demokrat menjadi Ketua DPR. Dia bersaing dengan rekan-rekannya sesama warga biru. Saya menulis berita tersebut ketika saya masih bercokol dengan berita-berita politik. Dia sempat melontarkan kemarahannya pada saya, bahkan meminta klarifikasi dengan berita yang dimuat di halaman dua Harian Umum Suara Pembaruan ketika itu.
Hampir satu tahun (kalau saya tidak salah hitung) Marzuki Alie menjabat sebagai Ketua DPR, rasa-rasanya, pernyataan pria berusia 54 tahun ini dalam merespon isu acap kali menuai kritik. Ucapan yang dilontarkannya tidak lazim, terkesan sulit berempati.
Yang terbaru, terkait musibah gempa-tsunami, Marzuki bertutur, “Mentawai itu jauh, itu pulau, kalau disapu tsunami, itu risiko kita yang tinggal di pulau,” katanya.
Jika tinggal di Mentawai, Marzuki melanjutkan, meski ada peringatan dini (early warning) atas kejadian gempa maupun tsunami dua jam sebelum kejadian, dipastikan tidak bisa keluar dari musibah. “Kalau tinggal di pulau itu, kalau sudah tahu dipandang berisiko, ya pindah saja,” cetusnya.
Nah, kemarin (27/10), di press room Kementerian Keuangan, saya dan beberapa teman media mendiskusikan pernyataan Marzuki Alie tersebut. Saya dan beberapa teman menyayangkan, ucapan tidak lazim yang keluar dari mulut Ketua DPR. Saya sempat mendorong Agust, salahsatu teman, untuk mengirimkan pesan singkat ke nomor pribadi sang Ketua DPR. Berikut kutipannya (asli loh):

Agust: “Tsunami itu konsekuensi warga yang tinggal di pulau,” bacot lo jaga ye. Pikir pake otak klo mo ngomong, malu ama titel lo.

Marzuki Alie : Kalau marah klarifikasi dulu, jadi  marah dg orang yg tepat. Saya sdh marah dg wartawannya, dia sengaja memelintir berita, insya'allah saya tdk segoblok yg anda katakan. Saya menyarankan klo tdk ada tempat utk menyelamatkan diri, walaupun ada peringatan dini, tdk ada gunanya krn tdk sempat utk diselamatkan. Saya meminta utk dipertimbangkan dilakukan relokasi krn P Mentawai secara rutin kena musibah bencana gempa. Klo tidak, ya konsekwensi tinggal di pantai dan rentan gempa. Media sekarang ini sdh tdk ada baiknya lagi, semua berita tdk ada yg disampaikan dg benar.

Asust: Maksud bpk media sdh ga da yg benar apa? Pernyataan bpk dimaknai sama oleh sejumlah media. Jd media yg hrs mnta maaf atau bpk yg sebaiknya meralat ucapan sblm diboikot slrh wrtwn politik/dpr?

Marzuki Alie : Tdk semua media demikian, msh banyak yg baik. Protes sering saya sampaikan tp itulah alasan mereka bhw media harus memberitakan yg menarik drpd konteks pentingnya. Klo salah kita diminta utk meggunakan hak jawab, akhirnya kita habis waktu utk klarifikasi, pdhal media perlu berita, saya selalu dikejar utk minta berita, saya berpikir positif, wlopun isi berita selalu tdk tepat.

Agust: Sayangnya anda jg perlu media tuk puaskan libido politik anda dan partai ya. Bnyk wrtwn yg menggadaikan harga diriny bt kejar narsum mcm anda, tp tak sdkt jurnalis yg dgn sadar menyaring narsum&info brguna bt publik. Rakyat ga pdli sbrp tinggi kekuasaan, jbtn, dan titel anda, yg pntg bt kami adalah etika, moral, dan tnggungjwb mengemban amanah.

Jadi, silahkan anda nilai sendiri Ketua DPR anda itu