September 26, 2009

Metro TV VS TV One, Berebut Naik Pohon Beringin





Metro TV dan TV One, dua televisi swasta nasional ini tengah baku hantam mengunggulkan bos besar masing-masing. Metro TV dengan Surya Paloh dan TV One dengan Aburizal Bakrie. Kedua orang ini merupakan fungsionaris partai Golkar, partai penguasa kepemimpinan (alm) Soeharto selama 32 tahun.

Rencananya, kurang dari dua minggu ini, partai berlambang pohon beringin dengan dominasi warna kuning tersebut bakal menyelenggarakan musyawarah nasional partainya di Riau. Seluruh dewan pimpinan daerah, tingkat I dan tingkat II bakal berkumpul memberikan dukungannya terhadap masing-masing kandidat ketua umum. Jadi, wajar saja bukan jika Surya Paloh dan Aburizal Bakrie tancap gas televisi asuhannya masing-masing untuk menggeber dukungan.

Ironisnya (hal lazim yang dilakukan dalam kompetisi politik kekuasaan di Indonesia), perebutan kursi kepemimpinan ini dilakukan dengan membongkar kebusukan lawan politiknya. Sebut saja, Aburizal Bakrie yang terganjal persoalan lumpur lapindo. Dalam hal ini, tentu Surya Paloh diuntungkan. Berbekal itulah, Surya Paloh dengan program-program acara televisinya, keranjingan mengangkat masalah lumpur lapindo. Sengaja atau tidak, kisah malang korban lumpur lapindo jadi tangga bagi Surya Paloh untuk naik ke puncak tertinggi pohon beringin.

Seolah tak mau kalah, Aburizal Bakrie, mantan ketua umum kamar dagang dan industri indonesia ini pun ikut berupaya merebut simpati masyarakat lewat program-program acara televisinya. Persoalan lumpur lapindo yang beberapa tahun belakangan dilenyapkan, kini sayup-sayup terdengar. Terdengarnya seperti ini; bahwa korban lumpur lapindo mendapatkan bantuan sejumlah dana..bla bla bla, bahwa korban lumpur lapindo mendapatkan bantuan sejumlah unit rumah..bla bla bla.

Tidak hanya itu, kedua tokoh ini juga saling klaim dukungan. Sempat saya menghadiri konferensi pers Aburizal Bakrie, beberapa waktu lalu dan dia mengatakan, "32 DPD tingkat I dan lebih dari 400 DPD tingkat II telah menyatakan dukungannya. Dukungan tersebut dinyatakan melalui surat dukungan yang dibubuhi tandatangan masing-masing DPD dan sekjendnya," katanya.

Nah, belum lama ini, Surya Paloh juga mengklaim hal serupa. Bos berjanggut ini mengungkapkan, dukungan di DPD tingkat I dan tingkat II terpecah. Sehingga, ada DPD tingkat I yang memberikan dukungannya terhadap calon A, tetapi di tingkat II mendukung calon B.

Oke, saling klaim dukungan. Wajar. Tetapi, yang ingin saya tahu, masyarakat tahu tidak ya? Bahwa persoalan lumpur lapindo telah dibebankan kepada negara. Bahwa kepolisian telah menghentikan penyelidikan kasus ini lebih lanjut. Bahwa bencana lumpur lapindo di SP3 kan karena kepolisian menyebut peristiwa naas tersebut murni sebagai bencana alam.

Masyarakat sadar tidak ya? Bahwa perang opini di udara antara Metro TV dan TV One atau Surya Paloh dan Aburizal Bakrie ini telah tidak mendidik masyarakat dan tidak mendewasakan bangsa Indonesia, termasuk mensahihkan industrialisasi media.

September 08, 2009

TV One dan Acara Sumbangan Korban Gempa Tasikmalaya dan Bandung



Semalam, Minggu (6/9), saya terpaksa menyaksikan acara bertajuk "Satu Untuk Negeri Peduli Jabar" di TV One. Saya bilang terpaksa karena, pertama, saya kurang suka menonton televisi. Kedua, TV One, bagi saya tidak memenuhi syarat jurnalisme dalam menyajikan berita.

Nah, yang saya ingin persoalkan, kekonyolan penayangan acara TV One. Bagaimana tidak, entah untuk alasan kurang kerjaan atau pengen aksi pamer. Acara "Satu Untuk Negeri Peduli Jabar" mempertontonkan petinggi-petinggi perusahaan ternama, pengusaha-pengusaha sukses dari KADIN (Kamar Dagang dan Industri Indonesia), HIPMI (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia), dan mereka-mereka berkantong tebal yang mengatasnamakan pribadi saling unjuk angka memberikan sumbangan untuk korban gempa Tasikmalaya dan Bandung, beberapa hari lalu.

Gosh!!!
Apa yang ada di otak sang produser?
TV One mempublikasikan acara yang mempertontonkan orang-orang tajir seperti di acara lelang, memprovokasi pundi-pundi amal seseorang atau sekelompok orang (meskipun, mungkin tujuannya baik).

Saya pribadi sih, memang belum memberikan apa-apa untuk saudara-saudara saya di Tasikmalaya dan Bandung. Saya tidak punya 20 juta, 200 juta, atau pun 5 miliar untuk saya sumbang. Pun, kalau saya punya sebanyak itu, saya tidak bakal menyebutkannya dengan lantang di depan publik, disiarkan di depan kamera televisi dan ditonton ratusan juta bahkan miliar pasang mata di Indonesia dan dunia. Untuk apa? Apa gunanya? Astaga, pamrih sekali bangsa ini! Gila pencitraan sepertinya.

TV One tentu mengeruk keuntungan lain dari tayangnya acara tersebut. Traffic-nya bisa jadi padat. Iklan berebut minta ruang untuk pamer produk mereka. Pundi-pundi perusahaan pun menggelembung. Ya ya ya, silahkan nikmati hasil keringat kalian itu. Hasil keringat dari hasil eksploitasi kalian terhadap bencana yang tengah menimpa saudara-saudara kita itu.

Mungkin saya terdengar berlebihan menanggapi acara ini. Saya cuma heran, bagaimana bisa ya, niat baik menolong sesama dijadikan alat mempertebal kantong dan menaikkan pride seseorang atau sekelompok orang.

Tanpa bermaksud buruk, saya rasa, orang-orang model ini lebih patut ditolong dan didoakan, bukan para korban gempa Tasikmalaya dan Bandung. Karena, gempa benar-benar meruntuhkan mental dan menggerogoti sisi kepedulian sosial mereka yang sebenarnya. Tak heran, acara bakti sosial macam di TV One itu jadi ajang pamer. Walaupun, secara fisik, gempa telah merobohkan rumah-rumah dan menghilangkan banyak nyawa saudara-saudara kita di Tasikmalaya dan Bandung.

Jika kau memberi dengan tangan kanan, bukankah tangan kirimu tidak perlu tahu? Sudahilah! Tolong. Jangan sampai Tuhan menegur dengan mengguncang bumi kita dengan gempa yang lebih besar lagi bagi bangsa ini.