Februari 10, 2011

Mau Bakar Gereja Lagi? Monggo..

Tulisan ini bermula dari status di akun facebook seorang teman bernama Christine Birong Nababan. Begini bunyinya, "gereja hanya bangunan fisik! sesungguhnya, Tuhan menetap di hati kami masing-masing... monggo, kalo mau bakar gereja lainnya :)".

Ada rasa haru, sekaligus malu menyimak kalimat Birong. Bayangkanlah, Birong tak membalas perlakuan para pembakar gereja itu dengan caci-maki atau bahkan balas membakar rumah ibadah milik para pembakar. Tidak! Birong malah memberi ikon senyum di pungkasan kalimatnya.

Lantaran sikap Birong yang manis itulah, saya dibuatnya malu. Bayangkanlah, dia malah memberi senyum seraya menyilakan kepada perusak gereja untuk membakar gereja lainnya. Kontras benar dengan tayangan video di televisi yang menyajikan tayangan orang-orang yang murka dan membabi-buta, merusak apa saja yang ada di hadapan mereka, termasuk gereja, seperti yang banyak diberitakan oleh media massa. Saya yakin, hati Birong dan saudara-saudara saya yang beragama Nasrani tersakiti oleh peristiwa ini, sebagaimana ketika Zaenal, kawan saya yang Muslim, mendengar kabar di Amerika ada pembakaran Al Quran, di Denmark surat kabar Jyllands-Posten memuat karikatur Nabi Mauhammad SAW.

Sama dengan sikap Birong, Zaenal dan sebagian umat Muslim lainnya juga menanggapinya dengan bijaksana, bahwa yang melakukan tindak penistaan terhadap Islam hanyalah oknum yang tak bertanggung jawab, oknum yang tak memikirkan akibat dari perbuatannya. Perbuatan oknum, jelas bukan gambaran dari keseluruhan. Tentu saja, sebagian ada juga yang marah-marah. Mafhumlah, agama adalah fitrah. Menurut para pakar, di dalam jiwa manusia itu ada enam rasa/potensi, yaitu agama, intelek, sosial, susila, harga diri dan seni. Fitrah sendiri adalah potensi-potensi tertentu yang ada pada diri manusia yang telah dibawanya semenjak lahir.

Terlepas dari musabab meletusnya kemarahan, betapapun setiap agama mengajarkan agar manusia bisa mengendalikan amarahnya sehingga tidak menimbulkan api yang bisa membakar apa saja. Yang jadi soal adalah, kenapa belakangan di negeri ini justru kemarahan senantiasa berujung pada ketidak-warasan akal. Rambu-rambu yang diajarkan oleh semua kitab suci seperti tak berarti apa-apa, demikian juga perangkat hukum yang menjaga ketertiban umum, tak berdaya menghadapi amarah warganya.

Tak terbayangkan, jika amarah sekelompok orang dibalas oleh kelompok lainnya. Tentu persoalan akan bertambah panjang dan semrawut, seperti kerusuhan antarsuku di Kalimantan beberapa waktu lalu.
Entahlah apa yang sedang terjadi dengan bangsa ini. Tapi satu hal, rasanya kita telah kehilangan "cara bertanya" dan "cara menyampaikan pendapat" yang santun, yang dulu dicontohkan oleh leluhur kita.
Dalam keseharian, kerap benar kita menjumpai seorang anak atau remaja yang bertanya begini kepada kita, "Si Polan ada?" Pertanyaan yang dingin dan kaku tanpa menyebut terlebih dahulu orang yang ditanya. "Pak, Bu, Mas, Mba, Si Polan Ada?" Begitu misalnya.

Pun demikian ketika menyampaikan pendapat. Cara-cara berdialog rupanya dianggap bertele-tele. Hajar dulu, urusan belakangan. Dan... bres! Bres! Bres! Setelah semuanya luluh-lantak, setelah semuanya jadi abu, setelah nyawa pegat dari raga, barulah kita ngungun dan bertanya-tanya, betapa telah kelewat jauhnya kita dari yang disebut beradab.

Tapi untunglah, kita masih menyisakan orang-orang baik macam Birong dan Zaenal, serta saudara-saudara lainnya yang senantiasa menjaga akal sehatnya, sehingga tidak gampang tersulut amarahnya oleh sebuah sebab yang bahkan telah melukai fitrahnya.

Birong, Zaenal, dan saudara-saudara kita yang baik tentu masih percaya, akal sehat adalah benteng pertahanan terakhir bagi kejernihan hati. Akal sehat itulah suluh penerang yang memandu manusia mengenal kemanusiaannya. Itu sebabnya, Zaenal tak ikut-ikutan mengumbar amarahnya dengan membalas membakar kitab suci agama lain. Itulah soalnya, Birong masih bisa tersenyum tatkala gereja di Temanggung dibakar.

Terima kasih Birong, untuk senyummu, juga untuk kebaikanmu dengan tidak ikut-ikutan marah. Moga-moga pikiran dan hati kita senantiasa bersih, agar Tuhan tetap tinggal di hati kita sekalian.

Salam damai, untuk kita sekalian.



Jodhi Yudono
http://oase.kompas.com/read/2011/02/09/15070924/Mau.Bakar.Gereja.Lagi.Monggo.

Februari 07, 2011

Yang teriak "Allahuakbar" gak malu apa sama Gus Dur?

Kalau saya jadi presiden, hari ini saya kumpulkan oknum-oknum yang mengklaim diri mereka Islam, yang kerap meneriakkan "allahuakbar," tetapi menganiaya sesama. Saya akan tanya siapa TUHAN-nya? Saya akan tanya apa agama-nya? Termasuk, tempat mereka beribadah. Kalau TUHAN, agama dan tempat beribadah mereka ternyata sama persis dengan teman-teman saya yang Islam, maka saya akan mengajak mereka (Islam) yang tidak menyerang Ahmadiyah untuk berpindah kewarganegaraan.


Karena, Pemerintah Indonesia sudah sangat keterlaluan payahnya menjaga keamanan dan ketenteraman umat beragama di tanah kelahirannya sendiri. Ironis, melihat satu sama lain seperti berlomba-lomba mengucurkan darah mereka-mereka yang tergabung dalam Ahmadiyah. Seolah-olah ingin menegaskan, ada Islam di atas Islam. Dan lucunya, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono cuma bisa menginstruksikan agar dilakukan investigasi sebab-akibat peristiwa penyerangan Ahmadiyah.


Kalau saya jadi salah satu anggota Ahmadiyah, saya tidak akan segan-segan meminta suaka oleh pemerintah negara tetangga. Malaysia misalnya. Negara produsen teroris itu saja mampu menjaga keamanan umat beragama. Padahal, kita tahu, tidak sedikit warga negara keturunan Tionghoa yang memeluk Budha, atau India yang beragama Hindu. Jangan lupa, sejarahnya, Indonesia pun bukan negara beragama. Contohnya, Parmalim sebagai kepercayaan asli orang Batak dan Wiwitan sebagai kepercayaan asli orang Sunda. Jangan ingkari sejarah!


Saya teringat beberapa diskusi yang saya hadiri dengan teman-teman Jamaah Islamiyah Liberal (JIL) sewaktu alm Gus Dur masih aktif menjadi pembicara. Rekan saya bernama M Guntur Romli yang pernah menjadi korban kekerasan Front Pembela Islam, misalnya mengatakan kepada saya, "Islam sempurna jika bisa berdiri bersama agama lain." Indahnya. Walaupun, sejujur, saya pribadi pesimis, mengingat doktrin-doktrin Islam yang radikal yang saya dapatkan ketika saya duduk di bangku SMP (ya, saya pernah mempelajari Islam).


Ngeri. Dengan catatan pemeluk agama Islam terbesar, Pemerintah Indonesia malah tidak mumpuni mengatur mereka yang mengklaim diri mereka Islam tapi kemudian menyakiti sesama. Parahnya, penyerangan serupa juga dialami oleh penganut non-Islam yang hanya karena alasan rumah ibadahnya tidak mengantongi izin bangunan. (Ingat: penyerangan terhadap jemaat gereja Huria Kristen Batak Protestan di Pondok Timur Indah, Bekasi). Hebat memang, cuma Islam di Indonesia yang bisa begini.


Apa yang salah dengan pemeluk Islam di Indonesia? Mari berkaca pada Gus Dur. Mantan Presiden RI yang tidak memiliki penglihatan sempurna itu mampu melihat lebih luas arti kebebasan umat beragama. Bahwa, Kong Hucu adalah hak asasi setiap manusia untuk memeluk agama. Bahwa, Islam bukanlah satu-satunya agama di Indonesia, seperti yang menjadi cita-cita politisi karbitan Amien Rais. Bahwa, keberagaman agama adalah sebagai amanat Bhinneka Tunggal Ika dan mutlak.


Seandainya Gus Dur masih bernafas, mungkin beliau miris menengok cara kebanyakan pemeluk Islam di Indonesia berdampingan dengan penganut non-Islam. Semoga kebajikanmu menular pada kami, cak!