November 10, 2010

Marzuki Alie, Riwayatmu Kini

Sontak, saya kaget melihat salahsatu berita di situs www.kompas.com bertajuk “Pindah Saja ke Daratan.” Ketua DPR Marzuki Alie selaku narasumber, secara eksplisit menyebut, bencana gempa yang diikuti dengan tsunami merupakan konsekuensi warga yang tinggal di daerah kepulauan. Dalam cerita ini, tentu yang saya maksud adalah bencana gempa-tsunami di Pulau Pagai, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, 25 Oktober 2010 lalu.
Marzuki Alie, kader dari partai penguasa, yakni Partai Demokrat, sebelumnya duduk sebagai Sekretaris Jenderal Partai Demokrat. Tak lama setelah itu, dia diberikan mandat sebagai Ketua DPR periode 2009-2014 persis setelah kemenangan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono sebagai presiden dan wakil presiden.
Saya ingat proses pencalonan Marzuki Alie dari Sekjend Partai Demokrat menjadi Ketua DPR. Dia bersaing dengan rekan-rekannya sesama warga biru. Saya menulis berita tersebut ketika saya masih bercokol dengan berita-berita politik. Dia sempat melontarkan kemarahannya pada saya, bahkan meminta klarifikasi dengan berita yang dimuat di halaman dua Harian Umum Suara Pembaruan ketika itu.
Hampir satu tahun (kalau saya tidak salah hitung) Marzuki Alie menjabat sebagai Ketua DPR, rasa-rasanya, pernyataan pria berusia 54 tahun ini dalam merespon isu acap kali menuai kritik. Ucapan yang dilontarkannya tidak lazim, terkesan sulit berempati.
Yang terbaru, terkait musibah gempa-tsunami, Marzuki bertutur, “Mentawai itu jauh, itu pulau, kalau disapu tsunami, itu risiko kita yang tinggal di pulau,” katanya.
Jika tinggal di Mentawai, Marzuki melanjutkan, meski ada peringatan dini (early warning) atas kejadian gempa maupun tsunami dua jam sebelum kejadian, dipastikan tidak bisa keluar dari musibah. “Kalau tinggal di pulau itu, kalau sudah tahu dipandang berisiko, ya pindah saja,” cetusnya.
Nah, kemarin (27/10), di press room Kementerian Keuangan, saya dan beberapa teman media mendiskusikan pernyataan Marzuki Alie tersebut. Saya dan beberapa teman menyayangkan, ucapan tidak lazim yang keluar dari mulut Ketua DPR. Saya sempat mendorong Agust, salahsatu teman, untuk mengirimkan pesan singkat ke nomor pribadi sang Ketua DPR. Berikut kutipannya (asli loh):

Agust: “Tsunami itu konsekuensi warga yang tinggal di pulau,” bacot lo jaga ye. Pikir pake otak klo mo ngomong, malu ama titel lo.

Marzuki Alie : Kalau marah klarifikasi dulu, jadi  marah dg orang yg tepat. Saya sdh marah dg wartawannya, dia sengaja memelintir berita, insya'allah saya tdk segoblok yg anda katakan. Saya menyarankan klo tdk ada tempat utk menyelamatkan diri, walaupun ada peringatan dini, tdk ada gunanya krn tdk sempat utk diselamatkan. Saya meminta utk dipertimbangkan dilakukan relokasi krn P Mentawai secara rutin kena musibah bencana gempa. Klo tidak, ya konsekwensi tinggal di pantai dan rentan gempa. Media sekarang ini sdh tdk ada baiknya lagi, semua berita tdk ada yg disampaikan dg benar.

Asust: Maksud bpk media sdh ga da yg benar apa? Pernyataan bpk dimaknai sama oleh sejumlah media. Jd media yg hrs mnta maaf atau bpk yg sebaiknya meralat ucapan sblm diboikot slrh wrtwn politik/dpr?

Marzuki Alie : Tdk semua media demikian, msh banyak yg baik. Protes sering saya sampaikan tp itulah alasan mereka bhw media harus memberitakan yg menarik drpd konteks pentingnya. Klo salah kita diminta utk meggunakan hak jawab, akhirnya kita habis waktu utk klarifikasi, pdhal media perlu berita, saya selalu dikejar utk minta berita, saya berpikir positif, wlopun isi berita selalu tdk tepat.

Agust: Sayangnya anda jg perlu media tuk puaskan libido politik anda dan partai ya. Bnyk wrtwn yg menggadaikan harga diriny bt kejar narsum mcm anda, tp tak sdkt jurnalis yg dgn sadar menyaring narsum&info brguna bt publik. Rakyat ga pdli sbrp tinggi kekuasaan, jbtn, dan titel anda, yg pntg bt kami adalah etika, moral, dan tnggungjwb mengemban amanah.

Jadi, silahkan anda nilai sendiri Ketua DPR anda itu

Tidak ada komentar: