September 29, 2010

Debat Kusir 20 menit, Tarik Maaaaaaang!!!!!

Rabu (29/9), saya bangun cukup siang hari ini. Maklum, aktivitas memindahkan barang dari kamar kos lama ke kamar kos baru semalaman tadi, bukan cuma buang waktu, tapi juga energi. Nafas terengah-engah, sekonyong-konyong saya merasa mau pingsan. Pesan singkat redaktur menyadarkan saya pagi (atau siang) itu. Bunyinya, “listing berita apa hari ini, Rong?”

Gosh! Sontak saya bangkit dari tempat tidur. It’s 10.45 AM.

Mandi ala prajurit (baca: lima menit). Saya bergegas mengambil pakaian secara acak dari lemari, toh gak ada laki-laki potensial di kantor-gak takut terlihat jelek dong. Se-ala kadarnya. Lupa menggunakan parfum, body lotion, apalagi krim jerawat yang ritualnya makan waktu 15-20 menit.

Fajar, nama tukang ojek itu. Saya duduk di belakangnya dan sepeda motor itu pun melesat.

“Itu tanggul yang jebol kemarin, Rong!” kata Fajar menunjuk ke arah kanan sepanjang Ciliwung. “Katanya, 2012 nanti daerah sekitaran sini bakal jadi lautan,” cetusnya dengan nada serius.

“Ah, biarin-lah. Jadi, gak perlu ke Ancol jauh-jauh untuk berjemur. Naek ojek bayar goceng udah bisa nikmatin laut,” jawab saya diikuti gelak tawa.

Saya berpikir. Memang sih, beberapa tahun belakangan ini bencana banjir hampir dialami tidak hanya Indonesia, tetapi juga negara tetangga seperti, Taiwan, Filipina, Singapura, bahkan Rusia. Apa benar serangkaian bencana banjir ini bukti bahwa bumi sudah tua atau dampak global warming, pikir saya. Aduh, maaf kalau ada salah informasi, saya sendiri tidak mendalami isu ini.

“Global warming?” tanya Fajar.

Menutupi pengetahuan saya yang minim. “Ya gitu deh! Abis, orang-orang di luar negeri udah pada mulai mengkampanyekan global warming dengan serius, orang Indonesia malah asyik bangun mal-mal megah, penggunaan AC makin banyak, kendaraan makin bejibun, belum lagi budaya buang sampah sembarangan.”

“Oh gitu ya?” Fajar mencoba meyakini jawaban saya.

Well. Terlepas dari benar atau tidaknya penjelasan saya, saya hanya ingin menularkan pola hidup ramah lingkungan kepada Fajar. That’s it. Seriusssssssss!!

Obrolan saya dan Fajar tak terhenti disitu, sambil melintasi jalan sepanjang Manggarai menuju Palmerah, topik kami semakin hangat. Kali ini, soal pengendara lalu lintas yang kian hari kian memuakkan; pengendara sepeda motor yang menggunakan trotoar, melanggar rambu-rambu lalu lintas, supir bus ugal-ugalan, hobi nge-tem para supir angkot, sampai aksi pembalap-wanna be.

Fajar sempat berencana mencoba menggunakan trotoar untuk menghindari macet. Tetapi, saya melarangnya. “Jangan! Itu kan haknya pejalan kaki,” ucap saya tegas dan Fajar pun mengurungkan niatnya meski beberapa trotoar tampak menggoda selera Fajar-terlihat dari gerak tubuhnya mengontrol kemudi sepeda motor.

“Itu, Jar, orang Indonesia. Gak tertib. Lampu merah diterobos, dan ini lagi iring-iringan pembawa jenazah mengambil jalan forbidden. Ugal-ugalan. Memangnya orang mati punya jam masuk liang kubur apa? Kecuali korban kecelakaan atau ibu hamil yang mendesak melahirkan, perlu-lah kecepatan untuk menolong nyawa orang,” gumam saya.

Fajar sempat diam. Kemudian, angkat suara, “Gini, Rong, kalau semua orang tertib, memang gak bakal ada macet! Masalahnya, kalo gue doang yang berhenti di belakang garis di tiap lampu merah, gue doang yang gak naek trotoar, dan gue doang yang nyuap polisi kalo kena tilang, cape deeeeeeeeeeeeh, Rong!”

Saya tertawa, dan tangan saya mendarat ke punggung belakang si Fajar tukang ojek. “Itulah, Jar, makanya kalau gue punya duit cukup, gue bakal terbang sekarang juga ke luar negeri dan menghabiskan sisa hidup gue disana.”

Batin saya mengeluh, gimana mau maju, wong orang Indonesia itu bangga break the rules-malu menjadi patuh. Ah, semoga saja saya benar-benar dinikahi bule dan diboyong hidup tentram di negeri orang.

September 27, 2010

Titip sakitku di Cawang!

Cawang, dengan caranya sendiri, telah menjadi bagian dari aku. Sakitku, lebih tepatnya. Cawang menjadi bagian dari tinta yang kugoreskan di buku catatanku. Untuk semua pahit-manisnya, hiruk pikuk lalu lintas, rangkaian malam-malam penuh persahabatan dan atau gairah, plakat bergengsi, hingga udara yang kuhirup dan tanah yang kupijak, terimakasih. Hanya sekarang, kutitip sakitku di Cawang. Hasta la vista!


1 April 2007 adalah kali pertama aku menginjakkan kakiku di Cawang, bergulat hidup. Saat itu, aku menyandang status sebagai reporter Harian Umum Suara Pembaruan, setelah sempat mengais rejeki dari majalah satu ke majalah lainnya. Berkarir di harian nasional bakal lebih menantang dan mengasyikan, pikirku.

Dan, benar saja. Bekerja di harian nasional, terutama ambil bagian di panggung politik Tanah Air berarti menguras lebih banyak tenaga dan pikiran, hati nurani tidak terkecuali. Pagi bertemu pagi, malam bertemu malam. Idealisme dipertaruhkan. Alih-alih menjadi kurus karena bergadang 4 kali seminggu, aku malah terpaksa dirawat di rumah sakit akibat menderita tifus.

Mencicipi desk satu ke desk lainnya dibawah bimbingan redaktur satu ke redaktur lainnya ternyata juga menyenangkan. Bahwa, menulis untuk halaman budaya tidak semudah yang kubayangkan, dan mempelajari ekonomi tidak sesulit menebak angka tersembunyi dalam pelajaran matematika di bangku SMU atau teka teki silang.

Aku belajar banyak hal dan Cawang telah menjadi kelas bersejarah, mungkin bisa disebut ruang pesakitan. Bahwa, banyak pengalaman baru yang mengajarkanku ilmu berharga, tak terlepas dari bimbingan guru-guru terbaikku tentunya, senior, rekan kerja, maupun sahabat.

Hingga akhirnya, 1 November 2009, aku memutuskan hidup terpisah dari keluarga dan menyewa paviliun sebagai tempat tinggal sementara. Memang, ini bukan kali pertama aku tidur dibawah langit Cawang. Tak terhitung berapa malam yang kuhabiskan bersama rekan kerja di kantor, dibawah kaki meja kerja.

Disinilah, aku merasa, hidupku dimulai. Di ruangan berukuran 3x4 meter yang terletak diantara pemukiman penduduk di seberang kantorku. Ruangan busuk yang telah kusulap menjadi peraduan cantik, kemudian aku terusir karenanya. Karena, pemiliknya tak segan-segan mengambil keuntungan dari kenaifanku-kebodohanku.

17 Desember 2009, Cawang menjadi saksi kekecewaanku dikhianati seseorang yang kuanggap teman. Menyaksikan teman laki-lakimu mencium temanmu didepan wajahmu, aku bersumpah, bukan hal yang menyenangkan. Perasaan malu terhadap diri sendiri adalah pil pahit yang terpaksa kutelan saat itu.

18 Januari 2010, aku dipecat dari Harian Umum Suara Pembaruan. Beruntung, aku mendulang rupiah dari kejatuhan karirku itu, sehingga yang terpikir olehku adalah “bersenang-senang.” Mungkin terdengar bodoh bagi sebagian orang, tetapi tidak bagiku. Toh, karirku sudah mati sejak koran bernafaskan Kristen itu dipimpin pemimpin redaksi dan wakil pemimpin redaksi dengan karakter mental budak dan isi kepala yang tidak lebih pintar dari murid kelas 5 SD.

Cawang merasakan kebahagiaan yang lahir dari momentum itu. Hari-hari yang kuhabiskan dari satu pusat perbelanjaan ke pusat perbelanjaan lainnya, kelelahan bermain dan tertawa dengan sahabat-sahabat, hadiah-hadiah bagi enam malaikat kecilku (baca: keponakan), termasuk tambahan bersenang-senang bagi ibuku yang saat itu sedang berlibur.

Cawang, juga mungkin, merasakan kesedihan didalamnya, hari-hari mengetuk pintu satu perusahaan media ke perusahaan media lainnya tanpa mengesampingkan impian bekerja ideal, yakni status kepegawaian, tunjangan, dan lepas dari dikte penguasa.

Ternyata, cukup bagiku 10 bulan tidur dibawah langit Cawang di tiap-tiap malamnya, menghirup udara Cawang, menginjak tanah Cawang, berselimut debu Cawang. Selagi aku berkemas, terimakasih. Semoga, tidak ada titik yang akan membawaku kembali. Biar saja, kutitip sakitku di Cawang.

September 19, 2010

(ENTAH) APA AGAMAMU?

Awalnya saling bela agama masing-masing. Berakhir dengan saling mengutuk. Sumpah serapah diucapkan. Lalu, kemana agama yang katanya mengajarkan manusia untuk menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya? Mari berkaca!

Persoalan agama, khususnya antara umat Kristiani dan Islam, kian sengit. Di dalam negeri, konflik agama diwarnai dengan penyerangan gereja HKBP Pondok Indah Timur, Bekasi, beberapa waktu lalu. Adalah Front Pembela Islam (FPI) yang menjadi tertuduh. Entah.
Selang satu bulan, konflik agama di Tanah Air kembali memanas. Kali ini, terkait penusukan dan penganiayaan oleh sekelompok orang tak dikenal terhadap seorang penatua gereja dan beberapa jemaatnya. Adalah FPI (lagi) yang menjadi tertuduh. Entah.

Sementara, seorang pendeta dari Amerika Serikat, Terry Jones menuai kecaman berbagai kalangan di seluruh dunia dengan rencana aksinya membakar Al Quran. Aksi Jones itu bukan tanpa alasan, melainkan sebagai protes atas pembangunan masjid di lokasi penyerangan menara kembar World Trade Center (WTC) 11 September 2001 lalu yang disinyalir dimotori oleh Al Qaeda. Entah.

Nah, baru-baru ini, seorang warga negara Australia juga menuai kecaman karena melinting ganja dengan lembaran kitab suci, Al Quran dan Al Kitab. Videonya sempat di-posting di you-tube yang beberapa hari kemudian dihilangkan si pengelola situs. Entah.

Kemudian, jurnalis-jurnalis hebat itu pun semakin hebat menggoreskan tintanya. Isinya beragam; mengecam, mengutuk, membela agama tertentu, menyerang agama tertentu, dan akhirnya opini terbentuk di masyarakat, terutama bagi masyarakat Indonesia yang (maaf) terlalu mudah diprovokasi. Entah, karena latar belakang pendidikan yang kelewat jongkok, atau karena fanatisme terhadap agama sangat kental.

Sekarang tengok, beberapa teman-teman yang bergabung dalam halaman facebook saya juga tak mau ketinggalan. Mereka yang Islam adu balap menuai komentar di halaman facebook masing-masing, isinya kurang lebih mengutuk rencana aksi pembakaran Al Quran. Sedangkan, mereka yang Katolik atau Protestan mengecam penusukan dan penganiayaan penatua dan jemaat gereja. Beberapa dari mereka ada juga yang menyerukan kritik terhadap pemimpin bangsa ini yang kelewat peduli dengan pembakaran Al Quran tetapi mengabaikan kasus penyerangan gereja HKBP di Bekasi.

Saya pribadi, sempat mendiskusikan topik ini dengan beberapa teman, baik yang berlatarbelakang Islam maupun Katolik. Dan, rasa-rasanya, diskusi tersebut sekadar obrolan santai sore kami sambil menengguk sekaleng Coca Cola dan berbatang-batang rokok. Tidak ada yang terlalu serius, tidak ada yang tersinggung.

Meski terlahir sebagai Protestan, saya kerap melewatkan ibadah kebaktian Minggu. Saya tidak meluangkan waktu untuk berdoa sebelum makan atau memberikan perpuluhan ke gereja setiap bulannya. Tidak hanya itu, saya juga kerap meninggalkan ibadah Tahun Baru demi pesta mabuk-mabukan bersama teman-teman.

Tetapi, setidaknya, saya tahu caranya hidup berdampingan dengan manusia yang heterogen, baik dari latarbelakang agama yang berbeda, pendidikan, keluarga, maupun tingkat sosial. Dan, saya menghargai mereka yang atheis, agnostic, atau apapun. It’s a human rights, right?

Jadi, kalau saya yang kerap melewatkan ibadah saja dapat menghargai perbedaan, kenapa kalian yang mengklaim sebagai manusia ber-TUHAN justru tidak ya?

September 15, 2010


Aku mencintaimu. Sangat. Dari kepala sampai ujung kakiku, cuma kamu yang aku puja.
Dan, akan selalu seperti itu. 
Kamu metadon terbaik yang memabukkanku.
Mentari pagi yang menghangatkanku, temaram malam yang membangkitkan gairahku.
 
 
Ya, aku telah mengikat diriku dalam janji untuk selamanya mencintaimu.
Aku tahu, aku tahu aku tidak harus begitu.
Hanya saja, itu terjadi dengan sendirinya.
Seperti aku sedang menikmati setiap detik nafasku berburu tenggelam dalam pusaran pesona dirimu. 
 
Demi TUHAN, aku gila. Ya, aku menggilaimu. Dan, kamu membuatku tergila-gila. 
 
Ironis, memang, meski aku menyadarinya aku tidak ingin cepat-cepat mengakhirinya.
Aku menginginkanmu lagi, lagi, dan lagi. Dahagaku tak terpuaskan.
Indah dirimu hanya telah sedemikian hebatnya menyihirku. Sangat hebat. 
 
 
Tetapi, hari ini, demi TUHAN, aku lelah. Aku terlalu lelah berlari.
Dan, aku ingin berhenti sebelum sampai di garis finish. 
 
 
Melepasmu seperti bangkit meninggalkan kursi pesakitan.
Seperti menghirup udara kebebasan. Seperti berjalan telanjang kaki.
Seperti menikmati mentari sore. Seperti berbaring di atas rumput.
Seperti memenangkan lotere. 
 
 
Semoga, ini bukan ingkar atas janji yang belum sempat kubisikkan ditelingamu. Semoga.
  

September 07, 2010

Rumah Kecil

Saya menemukan tempat ini bersama rekan kerja, kamar berukuran 3x4 meter dalam rumah usang di pemukiman padat penduduk. Letaknya persis berseberangan dengan gedung kantor tempat saya bekerja saat itu. Dindingnya bercat hijau. Sangat kotor. Bekas-bekas air hujan pernah singgah. Saringan nyamuknya pun tak berrongga lagi-saking tebalnya debu. Saya yakin, debu pun tak sanggup menembus masuk. Langit-langit kamarnya dipenuhi sarang laba-laba, ditambah morat-marit kecoa dari lubang WC kamar mandi. Baunya, ya ampun, jangan ditanya. Kerusakan-kerusakan akibat salah urus penghuni sebelumnya masih tertinggal disana, seperti engsel pintu yang copot, lubang udara yang tidak tertutup dan menyatu dengan gudang gedung di belakangnya, termasuk beberapa lubang-lubang bekas paku di dinding.

Saya hanya bisa berpura-pura bernafas ketika pertamakali ibu pemilik kos menunjukkannya kepada saya.

Beruntung, kamar ini memiliki kamar mandinya sendiri. Privasi lebih. Juga terasnya sendiri. Keleluasaan lebih. Sementara, anak-anak kos lainnya harus berbagi. Ukuran kamar ini juga jauh lebih luas dibanding kamar-kamar kos lainnya. Sejauh mata memandang dari dalam ke luar, saya melihat cukup banyak langit, termasuk tanaman hias milik seorang wanita paruh baya yang membantu mencuci dan menyetrika pakaian anak-anak kos.

"Boleh saya membawa tukang untuk memperbaiki tempat ini bu?" saya buka suara memutuskan menyewakan ruangan itu.

***

Awal November 2009. Itulah pertamakali saya tidur di bawah atap rumah orang asing, orang yang tidak pernah saya kenal sebelumnya. Pagi pertama, seingat saya, saya bangun dengan perasaan bahagia. That i have my own rent-house. Mari menyebutnya rumah kecil, peraduan cantik yang akan menemani hari-hari saya ke depan. Entah untuk berapa lama.

Dindingnya tidak lagi hijau, melainkan kuning kecokelatan. Lantainya sudah bersih dan langit-langitnya menjadi seputih kapas. Kamar mandinya juga siap mendengar saya bernyanyi, dengan tambahan shower yang saya beli dari toko bangunan di area sekitar. Lubang-lubang di dinding sudah ditambal. Saringan nyamuk baru. Dan, saya juga sudah memperbaiki seluruh kerusakan yang diwarisi penghuni sebelumnya.

Rumah kecil yang cantik. Sangat cantik.

Lampu utamanya kini terkurung dalam rangkaian rotan. Jendelanya mengilap dengan kayu-kayu yang telah dipernis. Tempat tidur berukuran satu tubuh manusia saya letakkan di ujung kanan, persis bersebelahan dengan kamar mandi. Di samping tempat tidur, ada lemari pakaian berukuran mungil, rak buku mungil, dan papan siku yang menopang bingkai foto-rekam gambar saya bersama sahabat.

Ditengah ruangan, saya meletakkan tikar lampit. Televisi dan teman-temannya, dvd player, play station bersandar di dinding. Di sisi kanan, terdapat rak piring. Sedangkan, agak jauh ke kiri terdapat rak sepatu. Tidak ada tirai yang menutupi jendela, melainkan krey kuning yang saya beli dari toko perkakas favorit.

Nuansa ruangan secara keseluruhan berbalur cokelat dan kuning. Sangat apik. Hanya lukisan cetak bergambar kepala Budha yang agak berbeda, hitam-putih.

Bahagia sekali melihatnya. It's like these God damn stuffs are belong to each others, to me. Rumah kecil yang cantik. Sangat cantik sampai-sampai saya membuat album khusus gambar rumah kecil yang saya pamerkan di jejaring sosial pribadi. Bangga sekali rasanya.

September awal 2010, genap sembilan bulan saya menyandang status anak kos. Ada yang mengejutkan. Ibu pemilik kos meminta saya bertukar kamar dengan anak perempuannya yang baru dua bulan belakangan melangsungkan pernikahan. Anak ibu pemilik kos tersebut tinggal di kamar sebelah, di atap rumah yang sama dengan rumah cantik saya. Sementara, ibu pemilik kos tinggal bersama anggota keluarganya yang lain di bangunan lain, satu blok dari kos-kosan miliknya.

Nah, si anak perempuan ibu pemilik kos ini, menurut si ibu, tidak memiliki cukup uang untuk menyewa rumah kontrakan. Alhasil, kami harus bertukar tempat. Pikir saya saat itu, kalau memang tidak mampu, kenapa tidak menetap di kamar lamanya? Kenapa harus bertukar kamar dengan saya? Memang kamar saya jauh lebih besar, tetapi toh mereka sudah tinggal bersama-sama bahkan jauh-jauh hari sebelum menikah, bukan?

Saya kecewa. Benar-benar kecewa. Setelah apa yang saya buat pada kamar ini. Persoalannya bukan hanya uang yang saya habiskan untuk membayar tukang dan belanja bahan bangunan, tetapi juga waktu yang terbuang untuk memperbaiki, termasuk letih saya membersihkannya. Ah, tapi apa mau dikata, saya sadar, tanah dan bangunannya bukanlah hak saya. Saya sekadar menyewa.

Akhirnya, saya harus menciptakan rumah kecil lainnya.

Bagaimana pun, rumah kecil adalah guru terbaik saya. Yang mengajari saya caranya mencuci dan memasak beras dari rice cooker. Yang mengajar saya mencuci dan menyetrika pakaian, menyapu dan mengepel, dan berbenah layaknya perempuan pada umumnya. Rumah kecil adalah sahabat terbaik saya. Yang menyaksikan saya menangis dan tertawa, sedih dan bahagia. Yang menjadi tali penyambung pertemanan antara saya dan Poppy (teman kos). Dan mempererat hubungan antara saya dan Tuhan.

September 06, 2010

Sakitku

Pernahkah kau merasakan sakit yang teramat sangat?
Seperti, sebilah pisau sedang menembus dadamu. Dan, kau tidak dapat bernafas karenanya.
Atau pernahkah kau merasakan kesakitan hingga tertidur?
Seperti, berlari tanpa garis finish. Dan, kau kehabisan daya, kelelahan karenanya.

Demi Tuhan, rasa sakitnya tak tertahankan.
Aku, seperti memikul dosa ke-tujuh turunanku saja.
Dan terhempas jauh dari timur ke barat, barat ke timur.

Adakah dosa jika dendamku terbalaskan?
Karena, aku ingin sekali menunjukkan rasa sakitnya.
Dan, aku ingin sekali kau tahu rasanya menjadi aku.

September 03, 2010

Menjadi Lajang

Ejekan menjadi lajang di lebih dari seperempat abad kuhidup kerap menghujaniku akhir-akhir ini. Rata-rata pertanyaan teman-teman, rekan kerja, termasuk keluarga besar adalah tentang siapa calonmu? Beruntung, keluarga intiku tidak memberi tekanan serupa. Mungkin, lantaran kakak perempuan tertuaku sendiri baru merencanakan mengucap janji sucinya tahun depan.

Pacaran. Tunangan. Menikah.

Ahhhh.. Kelihatannya tiga suku kata di atas seperti menjanjikan kebahagiaan. Tidak hanya bagiku, tapi juga wanita-wanita muda lajang lainnya. Seandainya
Adam Brody si pemeran Seth Cohen dalam serial The O.C itu melirikku saja, aku tidak ragu untuk mengajaknya berkencan dan menjalin hubungan dengannya. Lalu, bertunangan dan dinikahi. Tapi, itu kan mustahil, bahkan Adam Brody saja tidak tahu aku ada di dunia ini.

Lagipula, kenyataannya, hingga usiaku yang serasa cepat meninggalkan tahun ke-26 ini, belum juga kutemui pria-pria lajang yang ideal, setidaknya ideal bagiku. Bahkan, tidak satu pria pun yang pernah kukencani lolos ke daftar "pria pilihanku". Serius! Dan akibatnya, kebanyakan orang menghakimiku sebagai
ms perfectionist atau ms picky. Whatever!

Menurutku, setiap orang memang memiliki standar untuk memilih siapa yang pantas atau tidak berdiri disamping mereka. Persetan apakah standar yang ditetapkan orang-orang ini rendah atau pun tinggi. Faktanya, setiap orang memiliki standarisasinya sendiri. Begitu pun prakteknya dalam kehidupan pribadiku. Ada standarisasi. Ada batasan sampai mana aku bisa berkompromi, dan batasan yang samasekali tidak bisa kutolerir.

Nah, kalau sampai saat ini aku masih menyandang status lajang, tidak berarti standar yang kupatok terlalu tinggi. Bukan pula menunggu hingga rasa keberanian menjalin komitmen itu datang. Sekali lagi, ini tentang sampai batas mana aku bisa mentolerir kekurangan dan kelemahannya, termasuk kebodohan-kebodohan yang dilakukan pria yang bakal menjadi rekanku di tempat tidur kelak.

Pendek kata, aku enggan mengambil pusing hal-hal yang harus kumaklumi atau kukompromikan. Aku ingin bahagia, bukan menderita mencoba memahami pasanganku seumur hidupku. Ini tentang komitmen yang akan dijalani sepasang manusia, yang tidak bisa dipungkiri, memang ada dua kepala didalam satu hubungan.

Well, pada akhirnya, memiliki pasangan atau menjadi lajang memang pilihan. Bukan takdir. Bukan keberuntungan atau kesialan.

Aku paham dengan wanita muda yang kerap menjadi samsak kemarahan pasangan mereka atas nama cinta atau apapun. Aku juga memaklumi wanita muda yang memilih memutar otak mereka siang dan malam lantaran harus menanggung persoalan keluarga atau beban keuangan pasangan mereka. Aku mencoba mengerti wanita muda yang rela menjadi mainan pasangan mereka, yang rela mendengar dan menyaksikan pasangan mereka meniduri sahabatmu sendiri.

Tetapi tidak untukku! Tidak akan!

Aku lebih memilih menjadi lajang sampai kutemui pria yang mampu menaruh hormat padaku diatas segala-galanya. Pria yang tidak berkelimpahan harta tetapi mau bekerja keras. Pria yang tidak sempurna secara fisik saja tetapi juga secara pola pikir. Pria yang mau memahami bahwa aku pecandu Tekken5, Tony Hawk's Pro-skater, sepatu keds, dan tattoo, bukan make up, high heels, atau whitening cream.

Mungkin, 12 tahun itu bukan cinta, melainkan ketakutanku untuk menjalani hari-hari tanpa-mu
Bahwa, cinta tlah mengelabui hatiku, hati-mu, hati kita
Bahwa, cinta tlah lama mati dan terkubur diantara kita, terkalahkan canduku pada-mu

Mungkin, siapa yang tahu

Sebab, ketika mulut-mu terbuka, walaupun hanya sedikit saja, aku tidak memiliki keberanian untuk menyambanginya
Sebab, kepercayaan diriku hilang, bahkan untuk sekadar mengatakan, betapa sempurnanya diri-mu sebagai pria
Dan, percayalah, di tiap-tiap menit mata-mu menatapku, mataku menatap-mu, doa ini selalu terucap; kau-lah anggur bagi gelasku yang kosong

Tetapi, aku memaksa-mu untuk tahu

Meski gairahku padam, tetapi hatiku gemuk akan kasih, dan aku ingin membaginya cuma dengan-mu
Bahwa, kau diperbolehkan untuk tidak mencintaiku; untuk tidak menungguku di meja makan setiap malam aku terlambat pulang; untuk tidak terbangun di pagi hari dan mendapati aku disisi-mu

Bahwa, kau diperbolehkan untuk meletakkan kepala-mu di atas payudara wanita yang kau cinta; kau diperbolehkan menari, bernyanyi dan berbahagia memuji dewi yang tidak turun dari langit; kau diperbolehkan makan dari tangan indah saudariku keturunan Hawa
Tetapi, ingatlah ini, kau-lah anggur bagi gelasku yang kosong

Dewasa


Saya ingat, waktu duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar, saya membayangkan apa jadinya saya jika mengenakan seragam putih biru (sekolah lanjutan tingkat pertama). Kemudian, ketika sampai di posisi yang saya idam-idamkan, saya kembali membayangkan apa jadinya saya jika memakai seragam putih abu-abu (sekolah lanjutan tingkat atas). Dan, terus berlanjut sampai saya mengenyam bangku kuliah. Kini, berstatus pegawai tetap di salahsatu harian bisnis dan investasi.


What a life!


Saya menikmati perjalanan hidup saya. Pahit manisnya. Mulai dari kehidupan layak yang dihadiahkan orangtua saya, hingga menjadi anak broken-home; dari berkecukupan materi hingga kesulitan membeli sebungkus rokok; dari menyetir mobil hingga berdesakan di bus ibukota; dari hobi berbelanja di Pondok Indah Mall hingga ke toko loak Pasar Senen; dari mengoleksi parfum hingga hanya sekadar deodoran.

Saya pribadi tidak mengeluhkan hal-hal yang bersifat materi tersebut. Tidak pernah. Tidak pula membayangkan untuk menempuh jalan pintas untuk menjadi kaya, such as, being a fuckin’ mistress-sleeping with old man, kissing him with moustache around his lips. Yeeks. Saya juga tidak bermimpi mengendarai Mini Cooper dengan menjadi pengedar narkotika. Amit-amit.


It’s a life!


Hidup mengalir begitu saja. Saya menghindari melakukan hal-hal yang tidak dilakukan orang dewasa, dan mengerjakan hal-hal seperti yang diperintahkan buku-buku psikologi untuk menjadi wanita dewasa. Wanita yang dewasa secara pola pikir, dan moral tentunya.

Nah, belum lama ini, beberapa teman dekat saya melempar pujian tentang kehebatan saya memahami hal-hal yang bersifat dewasa. Entah yang saya dapat dari buku ataupun pengalaman hidup. Intinya, bahwa, (mungkin) mereka mencoba mengatakan, pola pikir saya cukup matang untuk orang se-usia saya. Atau, mungkin, mereka mencoba mengatakan, saya begitu naif.


Gosh! I hate being a woman


For GOD sake, I hate being a woman. Bukan karena menjadi tua dan tak berdaya. Melainkan karena tuntutan orang dewasa untuk menahan diri melakukan hal-hal yang dilarang norma-norma. Bahwa, menjadi dewasa adalah tentang memikirkan kebahagiaan orang lain diatas kebahagian diri sendiri. Bahwa, menjadi dewasa adalah tentang menjaga sikap dan perilakumu.

Termasuk, memenuhi tuntutan untuk memahami kekanak-kanakan orang lain, tuntutan untuk mengalah demi menghindari perpecahan, tuntutan untuk tidak merengek sesuatu yang kau idam-idamkan, tuntutan untuk berbesar hati, tuntutan untuk tidak bertengkar di muka umum, dan tuntutan untuk terlihat tegar-padahal kau ingin menangis sekuat-kuatnya. Itu semuanya memuakkan. Sangat.


But, that’s life!


Seandainya saya boleh memilih untuk kembali ke masa anak-anak. Oh I wish. Yes, I wish I never grew up. Call me childish. Call me selfish. I don’t even care, but, I wanna be a girl. Berlari, bermain, menikmati hidup di atas sepeda dan kuda-kuda, mengenakan rok pendek tanpa kuatir seseorang akan mengintip dari bawah rokmu.

Mencintai wajahmu apa adanya tanpa polesan bedak atau krim pemutih. Duduk di pundak ayahmu bermain petak umpet hingga tertawa terkencing-kencing. Bahkan, mengikat rambutmu menjadi dua bagian tanpa terlihat konyol. Menjadi anak-anak, hanya tidak se-rumit ketika kau dewasa.