Sabtu, 6 November 2010, pukul 12.15 WIB saya tiba di Yogyakarta. Kota yang dikenal sebagai gudangnya pelajar ini mendadak berubah menjadi kota penuh debu. Ya, debu vulkanik yang dimuntahkan Gunung Merapi. Persis seperti yang disiarkan di stasiun televisi nasional: hujan debu dengan jarak pandang tidak lebih dari 10 meter.
Ah, saya hanya tidak menyangka saya berada di kota ini, begini. Sedih! Secara pribadi, bagi saya, kota ini menyimpan banyak kenangan. Termasuk, makanan istimewa tentunya. Tetapi, hari ini, saya kira, Yogyakarta hanya akan menyimpan airmata dari ribuan bahkan belasan ribu pengungsi yang terkena dampak amukan Gunung Merapi, isak tangis keluarga yang ditinggal mati korban “wedhus gembel”, dan kotak-kotak tanda simpati dari berbagai kalangan, termasuk dari teman-teman saya di Jakarta.
Sepiring nasi pecel sudah di hadapan saya. Bersama teman-teman dari Jakarta, yakni Eva, Kristina, Opik, dan Ardiles, kami menyantap makan siang di rumah makan sederhana-plus debu tentunya yang terletak di belakang Universitas Gajah Mada (UGM). Enak! Seperti biasanya, makanan yang disajikan di Yogyakarta selalu enak bagi lidah saya. Hanya, saya semakin tidak sabar bermandi hujan debu, berkeliling Yogyakarta.
Koordinasi kami, saya dan teman-teman dari Jakarta memang agak berantakan. Parahnya, kepanikan sudah meremas-remas kepala saya sejak malam keberangkatan. Adalah Kristina yang sama hebohnya dengan saya, dan Eva yang kelewat cuek. Beruntung dua jagoan kami, Opik dan Ardiles bisa diandalkan, menjadi penasehat sekaligus teman semalam suntuk menyetir hampir 12 jam.
Kami melintasi jalan raya Kaliurang (begitu papan jalan yang saya baca ketika melintas) menuju Muntilan, lalu Magelang. Pemetaan lokasi saya buruk, maaf, tapi saya memang membaca beberapa nama wilayah seperti; Mungkid, Muntilan, Magelang. Dan, seperti yang saya bayangkan, hujan debu di lokasi ini lebih lebat daripada Yogyakarta. Gumpalan putih di udara, debu setebal 10 sentimeter yang lengket dengan aspal, dan saya pun terbatuk-batuk setelah lupa menggunakan masker.
Keren!
Selama ini, pemandangan seperti ini cuma bisa saya saksikan di televisi dengan bayang-bayang reporter gagap plus heboh. Serius. Pemandangan langka ini merupakan kali pertama saya berada di daerah bencana, dengan bumbu haru dan bulu kuduk yang tak berhenti berdiri. Kalau pun saya mengabadikan momen di sela-sela kesibukan para pengungsi, dan relawan, semata-mata saya ingin mengabadikan “unhappy moment” ini. So, don’t get offended ya!
Beberapa wilayah yang saya lintasi tampak seperti kota mati. Candi mendut yang baru seumur hidup saya lihat itu tertutup debu putih. Di sepanjang jalan, di kiri dan kanan bahu jalan tepatnya, terpampang jelas pohon-pohon yang kuncup persis payung dalam posisi tertutup, beberapa tanaman mati, dan bangunan rusak, dan aspal jalannya persis arena meluncur-salju di Mal Taman Anggrek.
Di satu titik wilayah di Mungkid, teman saya-Kristina menyebutnya white christmas. Tidak salah! Kota dan seluruh pohon kuncupnya berbalut debu putih-tebal, listrik padam, sepi (karena keramaian hanya berpusat di posko-posko pengungsian) persis seperti menyaksikan kesedihan Ally McBeal melewati malam natal seorang diri.
Di salahsatu posko pengungsian, saya duduk di antara para pengungsi lansia. Mereka menghujani saya dengan pertanyaan, termasuk memaksa saya untuk mendengar pengalaman pahit mereka diusir Gunung Merapi. Saya sabar, mungkin pura-pura sabar. Maklum, 7 jam berdongeng selama Ardiles menyetir, dan 5 jam kemudian gantian saya yang menyetir, saya belum juga merebahkan tubuh barang 10 menit.
Dari satu posko pengungsian ke satu posko pengungsian lainnya, ternyata, adalah pekerjaan berat! Tenggorokan saya mulai terasa kering, dada saya sesak, sepertinya saya menghisap debu vulkanik. Kaki, tubuh, tangan, punggung, semuanya terasa ambruk. Tak heran, saya sempat terlelap pulas sepanjang perjalanan pulang dari posko terakhir menuju penginapan.
Ah, bahkan, Tjokorda (suami Happy Salma) yang rupawan sekalipun, saya kira, tidak mampu meredam keinginan saya untuk istirahat malam itu.
*****
Keesokan harinya, Minggu, 7 November 2001. Saya masih harus menyempatkan diri menyelesaikan kewajiban saya, menulis berita, sebelum bertolak kembali ke Jakarta. Saya duduk di teras depan, cafĂ© tempat penginapan. Saya memandang laptop-pinjaman dan telepon genggam di hadapan saya, sembari menyeruput cokelat panas dan menghisap rokok, saya berpikir, Yogyakarta sekali lagi menyita perhatian kita semua. “Nyuwun pangapunten dumateng gusti”.
Sekapur Sirih. Ikhlas untuk saudara-saudara di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Tetap semangat untuk relawan-relawan. Doa kami bersama kalian.
November 10, 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar