Cawang, dengan caranya sendiri, telah menjadi bagian dari aku. Sakitku, lebih tepatnya. Cawang menjadi bagian dari tinta yang kugoreskan di buku catatanku. Untuk semua pahit-manisnya, hiruk pikuk lalu lintas, rangkaian malam-malam penuh persahabatan dan atau gairah, plakat bergengsi, hingga udara yang kuhirup dan tanah yang kupijak, terimakasih. Hanya sekarang, kutitip sakitku di Cawang. Hasta la vista!
1 April 2007 adalah kali pertama aku menginjakkan kakiku di Cawang, bergulat hidup. Saat itu, aku menyandang status sebagai reporter Harian Umum Suara Pembaruan, setelah sempat mengais rejeki dari majalah satu ke majalah lainnya. Berkarir di harian nasional bakal lebih menantang dan mengasyikan, pikirku.
Dan, benar saja. Bekerja di harian nasional, terutama ambil bagian di panggung politik Tanah Air berarti menguras lebih banyak tenaga dan pikiran, hati nurani tidak terkecuali. Pagi bertemu pagi, malam bertemu malam. Idealisme dipertaruhkan. Alih-alih menjadi kurus karena bergadang 4 kali seminggu, aku malah terpaksa dirawat di rumah sakit akibat menderita tifus.
Mencicipi desk satu ke desk lainnya dibawah bimbingan redaktur satu ke redaktur lainnya ternyata juga menyenangkan. Bahwa, menulis untuk halaman budaya tidak semudah yang kubayangkan, dan mempelajari ekonomi tidak sesulit menebak angka tersembunyi dalam pelajaran matematika di bangku SMU atau teka teki silang.
Aku belajar banyak hal dan Cawang telah menjadi kelas bersejarah, mungkin bisa disebut ruang pesakitan. Bahwa, banyak pengalaman baru yang mengajarkanku ilmu berharga, tak terlepas dari bimbingan guru-guru terbaikku tentunya, senior, rekan kerja, maupun sahabat.
Hingga akhirnya, 1 November 2009, aku memutuskan hidup terpisah dari keluarga dan menyewa paviliun sebagai tempat tinggal sementara. Memang, ini bukan kali pertama aku tidur dibawah langit Cawang. Tak terhitung berapa malam yang kuhabiskan bersama rekan kerja di kantor, dibawah kaki meja kerja.
Disinilah, aku merasa, hidupku dimulai. Di ruangan berukuran 3x4 meter yang terletak diantara pemukiman penduduk di seberang kantorku. Ruangan busuk yang telah kusulap menjadi peraduan cantik, kemudian aku terusir karenanya. Karena, pemiliknya tak segan-segan mengambil keuntungan dari kenaifanku-kebodohanku.
17 Desember 2009, Cawang menjadi saksi kekecewaanku dikhianati seseorang yang kuanggap teman. Menyaksikan teman laki-lakimu mencium temanmu didepan wajahmu, aku bersumpah, bukan hal yang menyenangkan. Perasaan malu terhadap diri sendiri adalah pil pahit yang terpaksa kutelan saat itu.
18 Januari 2010, aku dipecat dari Harian Umum Suara Pembaruan. Beruntung, aku mendulang rupiah dari kejatuhan karirku itu, sehingga yang terpikir olehku adalah “bersenang-senang.” Mungkin terdengar bodoh bagi sebagian orang, tetapi tidak bagiku. Toh, karirku sudah mati sejak koran bernafaskan Kristen itu dipimpin pemimpin redaksi dan wakil pemimpin redaksi dengan karakter mental budak dan isi kepala yang tidak lebih pintar dari murid kelas 5 SD.
Cawang merasakan kebahagiaan yang lahir dari momentum itu. Hari-hari yang kuhabiskan dari satu pusat perbelanjaan ke pusat perbelanjaan lainnya, kelelahan bermain dan tertawa dengan sahabat-sahabat, hadiah-hadiah bagi enam malaikat kecilku (baca: keponakan), termasuk tambahan bersenang-senang bagi ibuku yang saat itu sedang berlibur.
Cawang, juga mungkin, merasakan kesedihan didalamnya, hari-hari mengetuk pintu satu perusahaan media ke perusahaan media lainnya tanpa mengesampingkan impian bekerja ideal, yakni status kepegawaian, tunjangan, dan lepas dari dikte penguasa.
Ternyata, cukup bagiku 10 bulan tidur dibawah langit Cawang di tiap-tiap malamnya, menghirup udara Cawang, menginjak tanah Cawang, berselimut debu Cawang. Selagi aku berkemas, terimakasih. Semoga, tidak ada titik yang akan membawaku kembali. Biar saja, kutitip sakitku di Cawang.
September 27, 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar