September 03, 2010

Dewasa


Saya ingat, waktu duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar, saya membayangkan apa jadinya saya jika mengenakan seragam putih biru (sekolah lanjutan tingkat pertama). Kemudian, ketika sampai di posisi yang saya idam-idamkan, saya kembali membayangkan apa jadinya saya jika memakai seragam putih abu-abu (sekolah lanjutan tingkat atas). Dan, terus berlanjut sampai saya mengenyam bangku kuliah. Kini, berstatus pegawai tetap di salahsatu harian bisnis dan investasi.


What a life!


Saya menikmati perjalanan hidup saya. Pahit manisnya. Mulai dari kehidupan layak yang dihadiahkan orangtua saya, hingga menjadi anak broken-home; dari berkecukupan materi hingga kesulitan membeli sebungkus rokok; dari menyetir mobil hingga berdesakan di bus ibukota; dari hobi berbelanja di Pondok Indah Mall hingga ke toko loak Pasar Senen; dari mengoleksi parfum hingga hanya sekadar deodoran.

Saya pribadi tidak mengeluhkan hal-hal yang bersifat materi tersebut. Tidak pernah. Tidak pula membayangkan untuk menempuh jalan pintas untuk menjadi kaya, such as, being a fuckin’ mistress-sleeping with old man, kissing him with moustache around his lips. Yeeks. Saya juga tidak bermimpi mengendarai Mini Cooper dengan menjadi pengedar narkotika. Amit-amit.


It’s a life!


Hidup mengalir begitu saja. Saya menghindari melakukan hal-hal yang tidak dilakukan orang dewasa, dan mengerjakan hal-hal seperti yang diperintahkan buku-buku psikologi untuk menjadi wanita dewasa. Wanita yang dewasa secara pola pikir, dan moral tentunya.

Nah, belum lama ini, beberapa teman dekat saya melempar pujian tentang kehebatan saya memahami hal-hal yang bersifat dewasa. Entah yang saya dapat dari buku ataupun pengalaman hidup. Intinya, bahwa, (mungkin) mereka mencoba mengatakan, pola pikir saya cukup matang untuk orang se-usia saya. Atau, mungkin, mereka mencoba mengatakan, saya begitu naif.


Gosh! I hate being a woman


For GOD sake, I hate being a woman. Bukan karena menjadi tua dan tak berdaya. Melainkan karena tuntutan orang dewasa untuk menahan diri melakukan hal-hal yang dilarang norma-norma. Bahwa, menjadi dewasa adalah tentang memikirkan kebahagiaan orang lain diatas kebahagian diri sendiri. Bahwa, menjadi dewasa adalah tentang menjaga sikap dan perilakumu.

Termasuk, memenuhi tuntutan untuk memahami kekanak-kanakan orang lain, tuntutan untuk mengalah demi menghindari perpecahan, tuntutan untuk tidak merengek sesuatu yang kau idam-idamkan, tuntutan untuk berbesar hati, tuntutan untuk tidak bertengkar di muka umum, dan tuntutan untuk terlihat tegar-padahal kau ingin menangis sekuat-kuatnya. Itu semuanya memuakkan. Sangat.


But, that’s life!


Seandainya saya boleh memilih untuk kembali ke masa anak-anak. Oh I wish. Yes, I wish I never grew up. Call me childish. Call me selfish. I don’t even care, but, I wanna be a girl. Berlari, bermain, menikmati hidup di atas sepeda dan kuda-kuda, mengenakan rok pendek tanpa kuatir seseorang akan mengintip dari bawah rokmu.

Mencintai wajahmu apa adanya tanpa polesan bedak atau krim pemutih. Duduk di pundak ayahmu bermain petak umpet hingga tertawa terkencing-kencing. Bahkan, mengikat rambutmu menjadi dua bagian tanpa terlihat konyol. Menjadi anak-anak, hanya tidak se-rumit ketika kau dewasa.

Tidak ada komentar: