Mei 24, 2012
Femi
Lesbi. Kata itu melintas ketika aku mulai dekat dengan Femi (RIP), sekitar pertengahan tahun 2010 lalu. Bagaimana tidak? Sejak Raymond mempertemukan kami, aku mendadak dekat dengan Femi. Begitu juga sebaliknya. Memang, kami bekerja di kantor yang sama. Tetapi, kedekatan kami berlanjut hingga di luar jam kantor. Padahal, setahuku, teman perempuannya di kantor hanya hitungan jari. Ia malah lebih sering bergaul dengan teman laki-lakinya.
Di kalangan kantor, Femi terkenal sebagai jurnalis cerdas, pekerja keras, dan berdedikasi tinggi. Pengalamannya jauh di atas jam terbangku. Ia senior, juga editor. Sementara, aku anak baru, reporter. Tetapi, ia tidak memandangku sebagai anak bau kencur. Ia malah bersikap baik dan menyenangkan. Sedikit banyak, aku merasa besar kepala. Dari sekian banyak reporter yang lebih dulu ia kenal, ia memilihku menjadi temannya.
Kami sering menghabiskan waktu bersama, ngobrol, atau sekadar menyesap bir. Rasanya, kami sudah lama saling mengenal. Tak heran, tanpa Raymond sekalipun, aku dan Femi tak pernah kikuk atau kehabisan bahan obrolan. Pernah, kami berdua melarikan diri ke pinggir dermaga di Ancol. Dalam hening, hanya suara angin bergemuruh, kami menikmati senja berjam-jam. Sampai mentari sembunyi, barulah kami sadar hari sudah sangat gelap.
Usiaku dengan Femi terpaut 2-3 tahun. Aku lebih muda, tentu saja. Tetapi, ini bukan alasan untuknya membayar setiap tagihan makan dan minum kami. Selalu. Ia hanya tak pernah membiarkanku melakukannya. Oh, terkecuali, ketika aku memiliki voucher untuk nonton dan jajan di gerai tertentu. Ahaaaha. Aku tidak pernah tahu alasannya, aku juga tidak tahu apa ia memberi perlakuan serupa kepada teman-temannya yang lain.
Aku tahu, ia baik. Aku tahu, ia cerdas, sampai menyanggupi dua pekerjaan dalam waktu bersamaan; mengedit laporan reporter-reporternya, dan menulis buku. Sedikitnya, ada 11 karya tulisnya yang berhasil dibukukan. Aku tahu, ia berasal dari jogja, penerima beasiswa dan mengikuti fellowship hingga ke Eropa. Tetapi, aku tidak tahu kehidupan cintanya. Sampai suatu hari aku berpikir, apakah mungkin ia seorang lesbian? Ia mendekatiku dan bersikap baik lantaran menyukaiku.
Serius!
Aku malah sempat menyampaikan kekhawatiranku ini pada dua orang temanku yang lain. Maklumlah, selain karena sifat jelekku yang selalu curiga atas kebaikan yang kuterima, beberapa rekan kerja perempuan di kantor juga pernah bernada agak sengit ketika tahu aku dan Femi berteman. Nyatanya, aku tak ambil pusing. Baru belakangan, aku tahu, ia mengagumiku karena sifat humoris, dan spontanitasku. Itu menghiburnya.
Ada beberapa tulisan singkat tentang aku di blog pribadinya. Umumnya, tulisan itu mengulas waktu kebersamaan kami. Yang kutangkap, ia menyukai selera humorku yang sarkastis, ia juga menyukai beberapa kemiripan di antara kami; sangat menyayangi kakak perempuan kami masing-masing, dan pecinta anjing, di samping kebiasaan lain, seperti gemar menyantap berbagai jenis daging babi dan sanggup menghabiskan berbotol-botol bir semalaman.
Akhir tahun 2010, Femi memutuskan pindah dari harian bisnis dan investasi ke portal media asing. Ia mengatakannya padaku 2-3 minggu sebelum kepindahannya itu, sembari menawarkan meja yang telah menopang sikutnya selama tujuh tahun belakang. Ia menawarkannya, tanpa aku meminta. Walaupun, ada sekitar 4-5 rekan lain yang berebut untuk menduduki bekas pantatnya. Mungkin, karena posisinya menghadap ke luar jendela.
Kepindahan Femi, ternyata tidak membawa perubahan bagi pertemanan kami. Kami masih berkirim sms, bbm, twitter, facebook, hingga email. Kami bertemu untuk bertukar kabar, menenggak bir, atau nonton. Sesekali, Raymond ikut serta. Kami juga beberapa kali pernah secara tidak sengaja bertemu ketika sedang meliput. Sayangnya, pertemuan yang tidak direncanakan tidak pernah berakhir mulus, kesibukan masing-masing menghalangi.
Terakhir kali, kami bertemu di acara liputan ulang tahun vespa. Femi datang untuk meliput, sedangkan aku datang karena hasrat dan kecintaanku pada sepeda motor lisensi Italia tersebut. Boleh dibilang, meski Femi yang berniat mencari berita, aku tampak lebih sibuk. Aku sibuk mengagumi, mungkin. Aku sibuk menagih goody bag berisi merchandise berbau vespa kepada penyelanggara acara. Aku berkeliling (test ride) dengan vespa edisi terbaru, sementara Femi sibuk wawancara.
Sampai acara makan siang selesai, Femi berpamitan. Aku masih saja kegirangan dengan pengalamanku menunggangi vespa edisi terbaru dan memamerkan sejumlah merchandise berbau vespa yang kuperoleh; sweater, topi, flashdisk, pulpen, dan notes. Lagipula, hari itu, aku bersama teman lain, dan dua rekan jurnalis yang kukenal di komunitas vespa. Semakin terbagilah perhatianku. Yah, hari itu sangat menyenangkan buatku.
Kemudian
Senin, 7 Mei 2012. Saat itu, hari keduaku di Bandung untuk tugas resmi dari perusahaan. Aku berkicau lewat social media, twitter. Femi mengomentari kicauanku itu. Dan, aku membalasnya. Singkat saja. Bahkan, terkesan basa-basi. Kemudian, keesokan harinya, tepatnya di malam hari, kami membicarakan kelanjutan Revenge, serial favorit di kanal televisi berbayar.
Aku jatuh cinta pada Daniel; ketampanannya dan sikap lemah lembutnya. Sementara, Femi menyukai Nolan, yang menurut penglihatannya keren. Hahaa. Sejujurnya, aku mencela seleranya itu. Sayangnya, dia membalas dengan ketus. Tapi tidak ada yang terlalu serius. Semakin larut, lalu perbincangan berakhir begitu saja. Aku tertidur, dan entah bagaimana ia juga tidak memaksaku lebih lelah lagi untuk terjaga.
Rabu, 9 Mei 2012. Pk 14.35 WIB aku tiba dari Bandung. Aku menikmati makan siangku yang tertunda, dan bersantai. Selang empat jam kemudian, aku membaca berita tentang hilangnya pesawat Sukhoi. Ituloh, produsen pesawat tempur yang baru pertama kali menciptakan pesawat penumpang. Mencengangkan. Karena, Rusia bukan cuma canggih, tapi ada nama besar Sukhoi dibaliknya.
30 menit setelahnya, lini masa twitter dipenuhi dengan ucapan duka dan doa kepada penumpang pesawat Sukhoi yang hilang. Ada nama Femi di antara barisan nama-nama penumpang lainnya. Aku terkejut bukan main. Perasaan tidak percaya, takut, khawatir, dan marah bercampur aduk. Aku mencoba menghubungi Femi lewat telepon genggamnya, mengirimkan bbm. Tidak ada hasil. Aku menghubungi Raymond untuk mencari kebenarannya. Nihil.
Jumat, 11 Mei 2012. Beberapa teman berinisiatif menggelar kebaktian untuk mendoakan Femi. Padahal, saat itu belum ada kejelasan korban tewas atau selamat. Tadinya, aku berharap, ia masih bertahan. Aku berkeras begitu. Namun, keadaan memaksaku menyerah. Bukan untuk siapa-siapa, tetapi diriku. Aku mulai berserah, melafalkan doa dan puji-pujian dalam kebaktian kecil itu. Tak sadar, bulir airmata menetes, hangat.
Hasta La Vista
Rabu, 23 Mei 2012. Keluarga Femi (diwakili oleh mba Esti-kakak Femi) menggelar misa terakhir di Rumah Duka RS Harapan Kita. Aku datang, dan mengikuti sembah-Yang secara Katolik. Disitu, ada sekotak peti berpelitur cokelat tua. Femi ada di dalamnya. Sebetulnya, aku berharap bisa melihatnya, menciumnya dan mengucapkan selamat jalan. Sayangnya, peti itu tidak diperkenankan dibuka. Mba Esti-lah orang terakhir yang melihatnya.
Aku duduk di antara para pelayat. Aku bahkan tidak mengenal orang di samping kanan dan kiriku. Suasana begitu khusyuk, hingga lembaran kertas (tata cara ibadah) dibalik pun terdengar nyaring. Semua orang bernyanyi, mengucapkan puji-pujian, dan bernyanyi lagi. Tetapi, aku terpaku memandangi foto di depan peti Femi. Rasa-rasanya, aku tidak percaya jika malam ini aku kehilangan satu suara yang tertawa setiap guyonan meluncur dari mulutku.
Sungguh aku benci rumah duka. Semua wajah tampak begitu tegang dan sedih. Semua mata basah. Bahkan, mereka yang berdiri mengucapkan kesan terakhir seolah-olah mengiring para pelayat untuk menangis. Aku bertahan sampai misa bubar, dan satu per satu dari berhamburan keluar ruangan. Thank God, aku cuma butuh udara segar dan rokok.
Ketahuilah, mba (panggilanku kepada Femi)! Meski kau tersenyum bahagia di atas sana, mungkin kau tidak akan pernah tertawa terbahak-bahak lagi. Karena, kau tidak akan menemukan orang sepertiku di surga. Selamat jalan! Hasta la vista. Tuhan memberkatimu. Sampai kita bertemu lagi. Aku menyayangimu, Femi Adi Soempeno.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar