Juni 19, 2011

Traveller's Shoes (2)

Keterlambatan jam penerbangan, dan keputusan mendarat darurat di bandar udara yang bukan tujuanmu memang menyebalkan. Apalagi, jika petugas maskapai penerbangan yang bersangkutan tidak sepenuh hati melayanimu. Lelah, lapar, dan meleset dari apa yang telah kau rencanakan adalah imbas yang tidak bisa dihindari. Tetapi, begitulah hebatnya perjalanan, selalu ada kejutan.

Siak, Pekanbaru
Selang lima hari melancong ke Phuket, Thailand, aku terbang menuju Siak, salah satu kabupaten di Provinsi Pekanbaru. Tak usah disebut lah ya apa yang membawaku kesini. Anggap saja, aku tengah mengunjungi kampung halaman teman seprofesiku, Afni. Anak Siak yang berhasil menyabet gelar Master of Science dan berkarir sebagai jurnalis di ibukota Jakarta.

“Pesawat terpaksa mendarat di bandar udara Polonia, Medan, karena cuaca buruk yang tidak memungkinkan untuk mendarat di tempat tujuan, yakni bandar udara Sultan Syarif Kasim II, Pekanbaru,” ujar pilot pada pengeras suara dalam pesawat. Alhasil, badan pesawat yang tadinya sempat menukik turun, kembali mengudara disambut gaduh suara penumpang bertanya-tanya.

Sebetulnya, aku sama paniknya dengan mereka semua. Guncangan yang terasa di dalam pesawat lebih hebat dari yang pernah kurasakan. Hujan lebat dan awan tebal penyebabnya. Sontak aku meremas tangan kiri Afni yang duduk tepat di sebelah kananku. “Af,” lirihku khawatir. Ketakutanku itu tak mendapat respon dari Afni, kecuali membalas dengan wajah datar.

Tepat pukul 22.22 WIB aku dan sekitar 100 penumpang lainnya keluar dari perut pesawat. Ketika itu, tidak ada satu orang pun yang menjelaskan tentang apa yang akan kami lakukan setelah ini. Keputusan petugas maskapai penerbangan sempat menggantung di udara sampai kira-kira 30 menit kemudian kami semua diboyong untuk menginap satu malam di Medan.

Memang sih, fasilitas yang disediakan lumayan membayar lelah kami. Dua hotel berbintang jadi pelabuhan sementara para penumpang, sebagian tinggal di Soechi Hotel-Novotel, sedangkan sisanya bermalam di Hotel Tiara. Aku yang malam itu kandung lelah, sudah tidak sempat mengkritik petugas maskapai penerbangan. Bahkan, Afni yang tak henti mengoceh pun tak kuladeni kali ini.

Pukul 05.30 WIB aku sudah rapih. Hanya mengganti kaus dan menggosok gigi, pagi itu aku sempat menyantap semangkuk sereal. Agak terlunta-lunta sebelum akhirnya pesawat membawa kami kembali ke Pekanbaru. Dan, dengan membawa tas besar seberat bayi kembar, aku tertidur lelap ketika pesawat mengudara. Saking nyenyaknya, sepengetahuanku, aku bangun 10 menit sebelum pesawat mendarat.

Afni yang agak tergesa-gesa dalam melakukan beberapa hal, sudah masuk dalam taksi. Aku menyusul. Dan, taksi tanpa argo itu pun melesat. 20 menit kemudian, kami sudah melantai di rumah kakak ipar Afni. Pria berdarah asli jawa itu dengan ramahnya menawarkan kami beristirahat. Sayang, kami hanya sempat menyantap semangkuk sayur lontong lokal dan bergegas menuju Siak.

Mobil sewaan berwarna telor asin melaju. Aku sebagai pengemudi, dan Afni sebagai navigator. Kami ganti-gantian tukar pengalaman sambil menyusuri jalan selama tiga jam untuk sampai di Siak. Sekali-kali kami hening. Aku menikmati pemandangan jalan di sisi kiri dan kanan, termasuk truk gandar 12 yang terjerembab masuk parit akibat kelebihan kapasitas. Sementara, Afni sibuk bertelepon dan menggunakan pelembap wajah.

Seorang suami istri lansia menyambut kami. Logat melayu yang terlampau kental membuatku kurang memahami apa yang mereka bicarakan. Beruntung, Afni dengan sigapnya memberi penjelasan acap kali melihat jidatku berkerut. Adalah ibu Erma dan bapak Zulkifli dari temanku itu yang barusan memberikan ucapan selamat datang, diikuti oleh empat saudara laki-laki Afni lainnya, Irfan, Hamka, Hatta, dan Fai (semoga aku benar mengejanya).

Ibu Erma menyiapkan makanan untuk aku dan Afni. Menu siang ini, ikan gabus balado plus tempe. Oh, ngiler. Aku pribadi memang suka sekali masakan rumah, makanan kampung atau apalah itu. Aku jadi teringat Kessy, si mbak di rumah yang selalu memasak makanan kampung setiap aku meminta. Biasanya aku minta dibuatkan ikan mujahir, bandeng, atau tongkol, sambal terasi, dan tempe.

Sejak tersesat di Medan kemarin, aku belum sempat mandi. Adalah air sungai Siak. Warna air permandiannya menyerupai lemon-tea, kuning kecokelatan. Jujur, awalnya aku ragu soal kebersihan air disini. Tapi sudahlah, toh warga sekitar mandi dari air sungai kecokelatan itu pun masih berusia panjang dan tidak menderita penyakit kulit. Asal tidak untuk diminum. Maklum, layanan PAM sangat terbatas, masyarakat Siak saja biasa mengandalkan air hujan untuk diminum.

Lanjut crita, belakangan, Ira muncul. Ira, tak lain adalah sahabat karib Afni semasa sekolah di Siak. Karena, aku tipikal orang yang terbuka dan tidak canggung berhadapan dengan orang baru, Ira mendadak menjadi sahabat karibku juga. Kami bertukar cerita, tertawa, menyantap es kelapa (di Siak es kelapa dilarutkan dengan gula pasir) dan menghabiskan sore jelang malam di tepi sungai Siak.

Kembali ke rumah, tahu-tahu ibu Erma telah menyiapkan makanan malam. Dari makan malam itulah, kami mulai berbincang. Mulanya mengenal satu sama lain dengan menanyakan nama, pekerjaan, tempat tinggal. Hingga, pengalaman hidup di Jakarta dan tak ketinggalan tentunya, jodoh. Buat aku yang lajang di usia 28 tahun, obrolan semacam ini seolah menuntut pengakuan dosaku yang terlalu sibuk berkarir.

Semakin malam obrolan semakin serius loh. Agama. Entah kenapa, aku suka sekali memperdebatkan keyakinan atau kepercayaan orang lain. Ujung-ujungnya, seisi rumah angkat suara. Afni dan keluarganya, termasuk Ira merupakan Muslim yang taat. Berbeda sekali dengan aku yang terlahir sebagai Protestan, yang belakangan memilih mempercayai Yesus Kristus tanpa harus memeluk agamanya.

Orangtua Afni itu terkejut mendengar pengakuanku. Mereka mengkritisi caraku berpikir dan memaknai agama. Ah, mereka hanya belum mengenalku. Akulah satu-satunya batu yang tidak akan tumbang menjadi karang dan butiran pasir di pantai. Dalil agama apapun langsung kupatahkan jika moral dan perilaku manusia masih menyerupai binatang. Lupakan! Bukan untuk itu tulisan ini dibuat.

Minggu pagi aku terbangun. Rupanya, aktivitas penghuni rumah yang membangunkanku. Ibu Erma mondar mandir ke dapur memasak. Sedangkan lainnya sibuk mempersiapkan permainan flying fox di halaman belakang. Mana mungkin, aku asyik tertidur di tengah orang lalu lalang di atas kepalaku. Skip this part, langsung saja aku, Afni dan Ira mencari santap pagi. Kami pergi ke pasar, disanalah pusat jajanan enak telah menanti.

Aku memilih mie basah, sedangkan dua perempuan berjilbab ini memilih lontong pecel. Kuliner disini sangat enak. Entah, karena aku sedang doyan makan atau rasanya memang enak. Di restoran yang pemiliknya berdarah Tiong Hoa itu, aku melihat beberapa pengunjung restoran lain mengamatiku. Tampaknya, mereka hafal betul untuk membedakan warga Siak dan pendatang.

Siang hari kami duduk bersama di tepi sungai siak. Aku asyik menulis catatan ini (yang sekarang kalian baca), lainnya mengobrol, dan sisanya bermain di halaman belakang. Aku berkesempatan memainkan daftar lagu favorit di iPod-ku. Aku langsung menyambar pengeras suara dan memutar lagu sekeras-kerasnya. Sangat keras hingga bapak Zulkifli memutuskan untuk mematikan pengeras suara, tanpa mengecilkan volumenya terlebih dahulu, tanpa menekan tombol henti pada iPodku.

Tiba-tiba Afni mendapat pesan singkat. Direktur salah satu operator minyak di Siak meminta dia dan aku untuk datang di perhentian heli di dekat jembatan Sultanah Agung Latifah, jembatan termegah di Siak. Afni tampil cukup rapih, sedangkan aku hanya bermodalkan kaus ungu dan sendal hotel. Sial. Aku terpaksa turun dari mobil menghampiri Afni dan beberapa pejabat daerah dan deputi menteri dari Jakarta yang sedang ber-ramah tamah.

“Kapan aku pulang? Kapan aku pulang, Af?” batinku berteriak.

“Tiket pesawat ke Jakarta terlalu mahal untuk kita kembali ke Jakarta esok, Senin (20/6), Rong!” Afni tiba-tiba berkelakar.

Mati aku! Aku punya pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan di Jakarta. Aku jurnalis untuk harian bisnis dan investasi yang bekerja setiap Minggu sampai Jumat. Tetapi, saat ini juga aku menuliskan cerita ini, aku masih di tepi sungai Siak sambil menikmati es kelapa keduaku sejak menginjak Siak.

4 komentar:

Anonim mengatakan...

semoga es kelapanya enak, saya anak siak. senang aja kalau ada orang luar yang menulis tentang siak...
salam.
www.komunitastongsampah.org

Birong Nababan mengatakan...

Terimakasih sudah baca. Telat banget ya balesnya hahaa

muslim nurdin mengatakan...

Tulisannya sangat bagus

Birong Nababan mengatakan...

Terimakasih bung muslim, senang telah baca :)