September 07, 2010

Rumah Kecil

Saya menemukan tempat ini bersama rekan kerja, kamar berukuran 3x4 meter dalam rumah usang di pemukiman padat penduduk. Letaknya persis berseberangan dengan gedung kantor tempat saya bekerja saat itu. Dindingnya bercat hijau. Sangat kotor. Bekas-bekas air hujan pernah singgah. Saringan nyamuknya pun tak berrongga lagi-saking tebalnya debu. Saya yakin, debu pun tak sanggup menembus masuk. Langit-langit kamarnya dipenuhi sarang laba-laba, ditambah morat-marit kecoa dari lubang WC kamar mandi. Baunya, ya ampun, jangan ditanya. Kerusakan-kerusakan akibat salah urus penghuni sebelumnya masih tertinggal disana, seperti engsel pintu yang copot, lubang udara yang tidak tertutup dan menyatu dengan gudang gedung di belakangnya, termasuk beberapa lubang-lubang bekas paku di dinding.

Saya hanya bisa berpura-pura bernafas ketika pertamakali ibu pemilik kos menunjukkannya kepada saya.

Beruntung, kamar ini memiliki kamar mandinya sendiri. Privasi lebih. Juga terasnya sendiri. Keleluasaan lebih. Sementara, anak-anak kos lainnya harus berbagi. Ukuran kamar ini juga jauh lebih luas dibanding kamar-kamar kos lainnya. Sejauh mata memandang dari dalam ke luar, saya melihat cukup banyak langit, termasuk tanaman hias milik seorang wanita paruh baya yang membantu mencuci dan menyetrika pakaian anak-anak kos.

"Boleh saya membawa tukang untuk memperbaiki tempat ini bu?" saya buka suara memutuskan menyewakan ruangan itu.

***

Awal November 2009. Itulah pertamakali saya tidur di bawah atap rumah orang asing, orang yang tidak pernah saya kenal sebelumnya. Pagi pertama, seingat saya, saya bangun dengan perasaan bahagia. That i have my own rent-house. Mari menyebutnya rumah kecil, peraduan cantik yang akan menemani hari-hari saya ke depan. Entah untuk berapa lama.

Dindingnya tidak lagi hijau, melainkan kuning kecokelatan. Lantainya sudah bersih dan langit-langitnya menjadi seputih kapas. Kamar mandinya juga siap mendengar saya bernyanyi, dengan tambahan shower yang saya beli dari toko bangunan di area sekitar. Lubang-lubang di dinding sudah ditambal. Saringan nyamuk baru. Dan, saya juga sudah memperbaiki seluruh kerusakan yang diwarisi penghuni sebelumnya.

Rumah kecil yang cantik. Sangat cantik.

Lampu utamanya kini terkurung dalam rangkaian rotan. Jendelanya mengilap dengan kayu-kayu yang telah dipernis. Tempat tidur berukuran satu tubuh manusia saya letakkan di ujung kanan, persis bersebelahan dengan kamar mandi. Di samping tempat tidur, ada lemari pakaian berukuran mungil, rak buku mungil, dan papan siku yang menopang bingkai foto-rekam gambar saya bersama sahabat.

Ditengah ruangan, saya meletakkan tikar lampit. Televisi dan teman-temannya, dvd player, play station bersandar di dinding. Di sisi kanan, terdapat rak piring. Sedangkan, agak jauh ke kiri terdapat rak sepatu. Tidak ada tirai yang menutupi jendela, melainkan krey kuning yang saya beli dari toko perkakas favorit.

Nuansa ruangan secara keseluruhan berbalur cokelat dan kuning. Sangat apik. Hanya lukisan cetak bergambar kepala Budha yang agak berbeda, hitam-putih.

Bahagia sekali melihatnya. It's like these God damn stuffs are belong to each others, to me. Rumah kecil yang cantik. Sangat cantik sampai-sampai saya membuat album khusus gambar rumah kecil yang saya pamerkan di jejaring sosial pribadi. Bangga sekali rasanya.

September awal 2010, genap sembilan bulan saya menyandang status anak kos. Ada yang mengejutkan. Ibu pemilik kos meminta saya bertukar kamar dengan anak perempuannya yang baru dua bulan belakangan melangsungkan pernikahan. Anak ibu pemilik kos tersebut tinggal di kamar sebelah, di atap rumah yang sama dengan rumah cantik saya. Sementara, ibu pemilik kos tinggal bersama anggota keluarganya yang lain di bangunan lain, satu blok dari kos-kosan miliknya.

Nah, si anak perempuan ibu pemilik kos ini, menurut si ibu, tidak memiliki cukup uang untuk menyewa rumah kontrakan. Alhasil, kami harus bertukar tempat. Pikir saya saat itu, kalau memang tidak mampu, kenapa tidak menetap di kamar lamanya? Kenapa harus bertukar kamar dengan saya? Memang kamar saya jauh lebih besar, tetapi toh mereka sudah tinggal bersama-sama bahkan jauh-jauh hari sebelum menikah, bukan?

Saya kecewa. Benar-benar kecewa. Setelah apa yang saya buat pada kamar ini. Persoalannya bukan hanya uang yang saya habiskan untuk membayar tukang dan belanja bahan bangunan, tetapi juga waktu yang terbuang untuk memperbaiki, termasuk letih saya membersihkannya. Ah, tapi apa mau dikata, saya sadar, tanah dan bangunannya bukanlah hak saya. Saya sekadar menyewa.

Akhirnya, saya harus menciptakan rumah kecil lainnya.

Bagaimana pun, rumah kecil adalah guru terbaik saya. Yang mengajari saya caranya mencuci dan memasak beras dari rice cooker. Yang mengajar saya mencuci dan menyetrika pakaian, menyapu dan mengepel, dan berbenah layaknya perempuan pada umumnya. Rumah kecil adalah sahabat terbaik saya. Yang menyaksikan saya menangis dan tertawa, sedih dan bahagia. Yang menjadi tali penyambung pertemanan antara saya dan Poppy (teman kos). Dan mempererat hubungan antara saya dan Tuhan.

Tidak ada komentar: