September 03, 2010

Menjadi Lajang

Ejekan menjadi lajang di lebih dari seperempat abad kuhidup kerap menghujaniku akhir-akhir ini. Rata-rata pertanyaan teman-teman, rekan kerja, termasuk keluarga besar adalah tentang siapa calonmu? Beruntung, keluarga intiku tidak memberi tekanan serupa. Mungkin, lantaran kakak perempuan tertuaku sendiri baru merencanakan mengucap janji sucinya tahun depan.

Pacaran. Tunangan. Menikah.

Ahhhh.. Kelihatannya tiga suku kata di atas seperti menjanjikan kebahagiaan. Tidak hanya bagiku, tapi juga wanita-wanita muda lajang lainnya. Seandainya
Adam Brody si pemeran Seth Cohen dalam serial The O.C itu melirikku saja, aku tidak ragu untuk mengajaknya berkencan dan menjalin hubungan dengannya. Lalu, bertunangan dan dinikahi. Tapi, itu kan mustahil, bahkan Adam Brody saja tidak tahu aku ada di dunia ini.

Lagipula, kenyataannya, hingga usiaku yang serasa cepat meninggalkan tahun ke-26 ini, belum juga kutemui pria-pria lajang yang ideal, setidaknya ideal bagiku. Bahkan, tidak satu pria pun yang pernah kukencani lolos ke daftar "pria pilihanku". Serius! Dan akibatnya, kebanyakan orang menghakimiku sebagai
ms perfectionist atau ms picky. Whatever!

Menurutku, setiap orang memang memiliki standar untuk memilih siapa yang pantas atau tidak berdiri disamping mereka. Persetan apakah standar yang ditetapkan orang-orang ini rendah atau pun tinggi. Faktanya, setiap orang memiliki standarisasinya sendiri. Begitu pun prakteknya dalam kehidupan pribadiku. Ada standarisasi. Ada batasan sampai mana aku bisa berkompromi, dan batasan yang samasekali tidak bisa kutolerir.

Nah, kalau sampai saat ini aku masih menyandang status lajang, tidak berarti standar yang kupatok terlalu tinggi. Bukan pula menunggu hingga rasa keberanian menjalin komitmen itu datang. Sekali lagi, ini tentang sampai batas mana aku bisa mentolerir kekurangan dan kelemahannya, termasuk kebodohan-kebodohan yang dilakukan pria yang bakal menjadi rekanku di tempat tidur kelak.

Pendek kata, aku enggan mengambil pusing hal-hal yang harus kumaklumi atau kukompromikan. Aku ingin bahagia, bukan menderita mencoba memahami pasanganku seumur hidupku. Ini tentang komitmen yang akan dijalani sepasang manusia, yang tidak bisa dipungkiri, memang ada dua kepala didalam satu hubungan.

Well, pada akhirnya, memiliki pasangan atau menjadi lajang memang pilihan. Bukan takdir. Bukan keberuntungan atau kesialan.

Aku paham dengan wanita muda yang kerap menjadi samsak kemarahan pasangan mereka atas nama cinta atau apapun. Aku juga memaklumi wanita muda yang memilih memutar otak mereka siang dan malam lantaran harus menanggung persoalan keluarga atau beban keuangan pasangan mereka. Aku mencoba mengerti wanita muda yang rela menjadi mainan pasangan mereka, yang rela mendengar dan menyaksikan pasangan mereka meniduri sahabatmu sendiri.

Tetapi tidak untukku! Tidak akan!

Aku lebih memilih menjadi lajang sampai kutemui pria yang mampu menaruh hormat padaku diatas segala-galanya. Pria yang tidak berkelimpahan harta tetapi mau bekerja keras. Pria yang tidak sempurna secara fisik saja tetapi juga secara pola pikir. Pria yang mau memahami bahwa aku pecandu Tekken5, Tony Hawk's Pro-skater, sepatu keds, dan tattoo, bukan make up, high heels, atau whitening cream.

Tidak ada komentar: