Sebetulnya, saya tidak suka memulai tulisan dengan awalan kata 'ketika'. Tetapi, kata sederhana itu telah menginspirasi saya membuat tulisan ini, tulisan yang dialamatkan kepada satu-satunya kakak perempuan terbaik yang pernah saya miliki. Selamat membaca!
Ketika itu, saya duduk di kelas empat SD, dan Donna, kakak saya di kelas enam SD. Saya ingat sekali, sedih bukan main saat orangtua Nita dan Rian, kolega orangtua saya mengajak Donna dalam acara liburan keluarga mereka. Padahal, nama saya tidak masuk dalam daftar. Orangtua Nita dan Rian memang menyukai Donna. Di mata mereka, Donna tidak saja anak yang baik, tetapi juga sangat menggemaskan (baca: cantik). Sementara saya, berkulit gelap, kurus, memiliki banyak bekas luka, dan tidak menggemaskan.
Pagi itu, di hari libur anak sekolah, orangtua Nita dan Rian sudah menyambangi rumah saya untuk menjemput Donna. Mereka akan ke tanah Jawa (saya agak lupa lokasi tepatnya). Orangtua saya menyambut mereka dengan wajah sumringah. Donna pun sudah mengenakan pakaian terbaiknya, dan sisiran yang rapih. Sementara saya, berdiri di balik gorden pemisah ruang tamu dan lorong kamar, melihat pemandangan yang menyakitkan hati saya. Pernahkah kalian berharap menjadi anak yang tidak menggemaskan? Yang tidak diinginkan?
Itulah kali pertama selama beberapa hari, saya menjalani malam-malam tanpa Donna. Saya kehilangan ritual sebelum tidur, yakni menghisap ibu jari dan saling memilin (menggulung-gulung) rambut masing-masing sambil membicarakan kenikmatan es krim Conello-Walls yang pada saat itu populer. Seingat saya, dua atau tiga hari itu adalah hari-hari yang sangat tidak menyenangkan. Saya menunggu dia kembali secepatnya. Saya berharap dia kembali secepatnya.
Kami pergi ke sekolah yang sama setiap hari. Kami selalu berangkat dan pulang bersama, mengenakan sepatu yang sama, bahkan kaus kaki yang sama. Kotak makanan dan minuman kami pun sama, meski terkadang berbeda warna. Tanpa seragam sekolah pun, orangtua kami berusaha keras mendandani kami dengan model pakaian serupa. Kami bukan si kembar. Kami membencinya, namun lambat laun kami mulai menikmatinya.
Secara emosional, hubungan kami dekat. Sangat dekat mungkin. Sampai-sampai kami memiliki kesamaan pandangan terhadap orangtua kami. Bagi kami, saat orangtua tidak bisa memahami, seorang saudara selalu bisa. Pernah satu hari, kami berdua melarikan diri dan tersesat di terminal bus, padahal hari sudah gelap. Ketika itu, orangtua kami bertengkar dan menghardik satu sama lain, yang ujung-ujungnya melampiaskan kemarahan mereka kepada kami.
Usia saya dan Donna terpaut kurang dari dua tahun. Mungkin, itu salah satu faktor yang membuat kami bisa berteman baik. Meski demikian, kami sering juga selisih paham karena pinjam-meminjam baju atau tas atau asesoris. Tidak tegur sapa menjadi hal biasa, tetapi itu pun hanya bertahan tidak lebih dari tiga hari. Kebanyakan, Donna yang terlebih dahulu menunjukkan sikap mengalah. Ya, dalam hal-hal seperti ini, dia memang jauh lebih dewasa ketimbang saya.
Hingga beranjak remaja, saya dan Donna masih berbagi banyak hal; kasur, bantal, make up, sampai uang. Tanpa perjanjian tertulis, saya kebagian tugas mengantar dan menjemput Donna kemana pun, sedangkan dia mengambil alih pekerjaan rumah yang biasanya ditujukan untuk saya, seperti mengambilkan gantungan pakaian atau sesuatu dari kulkas ketika ibu meneriakkan nama saya, atau juga memberi makan anjing-anjing peliharaan kami.
Hukum tidak tertulis kakak-beradik tersebut rupanya berlanjut hingga kami dewasa. Saya mengantar dan menjemput Donna, ke dan dari tempat kerja, tempat les bahasa Italy, atau mall ketika dia tengah berkumpul bersama teman-temannya. Dan, seperti saya telah ungkapkan di atas, tugas mencuci piring, mengambil gantungan, atau memberi makan peliharaan kami pun diambil alihnya. Cukup adil bukan?
Kami saling bertukar rahasia. Mengatakan dan menyimpannya rapat-rapat. Saya tahu betul daftar panjang laki-laki yang pernah menjadi incaran dan yang berhasil dikencani Donna. Siapa-siapa saja teman-teman dia yang menyenangkan dan yang menyebalkan. Begitu pun sebaliknya. Kisah-kisah itu mengalir begitu saja menjelang saat tidur tiba. Yang perkembangan informasinya akan dilanjutkan keesokan malamnya. Selalu seperti itu.
Sedikit-banyak, saya mempunyai pengaruh untuk menentukan mereka yang menjadi pacar dan teman Donna. Dukungan akan mengalir deras apabila mereka berhasil merebut hati saya, sama derasnya dengan upaya menjatuhkan jika saya tidak menyukai mereka. Ahaahahaaa.. Ini mengingatkan saya kepada Gomos, laki-laki tambun yang menggilai Donna, tetapi selalu menjadi sasaran empuk olok-olokan saya.
Padahal, kalau mau dirunut, Donna tidak membatasi pergaulan saya yang jauh lebih luas ketimbang yang dimilikinya. Dia hanya sesekali mengomentari laki-laki yang dekat dengan saya. Selebihnya, saya dibebaskan memilih. Terdengar egois, I know. Mungkin, karena saya merasa tahu lebih banyak soal pergaulan, karena saya merasa lebih jeli memilih mana yang membawa pengaruh baik dan membuang mereka yang membawa pengaruh jelek.
Satu-satunya hal yang Donna kritisi dari saya adalah kesulitan saya menabung. Uang saya selalu habis untuk; membelanjakan yang tidak perlu, menraktir teman-teman, dan jalan-jalan. Itu karena, dia tahu persis pendapatan saya lebih besar daripada yang diperolehnya. Maklum, dengan pendapatannya, dia merasa lebih bijak dalam menghabiskan uangnya, seperti berinvestasi dengan membeli emas dan asuransi jiwa.
Kata 'iri' tidak ada dalam kamus persaudaraan kami. Saya dan Donna tidak pernah memperebutkan laki-laki yang sama. Sama halnya dengan program televisi yang ingin kami tonton, selalu bisa dikompromikan. Acap kali bepergian, saya selalu membawakan Donna oleh-oleh yang paling bagus, yang paling mahal dari yang saya belikan untuk teman-teman, bahkan diri saya sendiri. Donna tidak begitu. Tetapi, itu pun tidak pernah membuat saya jera.
Kenyataannya, karakter kami memang berbeda. Saya mencerminkan seorang perempuan keras kepala, pembangkang, egois, emosional, dan ambisius, tetapi penyayang. Sementara, Donna terkenal penurut, lemah lembut, dan lebih sering mengalah. Secara fisik, kebanyakan orang berpendapat, kami juga tampak berbeda; saya tumbuh dengan gaya agak maskulin, pilihan baju yang jauh dari modis, sedangkan Donna, cukup feminim dengan make up, high heels dan tas jinjingnya.
17 Maret 2012, saya pertama kali menyadari betapa cantiknya kakak saya. Donna dengan balutan kebaya putih, songket keemasan, dan make up tebal ala pengantin. Saya hampir menitikkan airmata saat memandang wajahnya usai didandani. Batin saya, benarlah saya tidak mewarisi satu apapun kecantikannya. Tidak hidung mancungnya, atau tulang pipinya yang menonjol sempurna. Mari kesampingkan, tubuh pendek dan rambut teramat tipisnya terlebih dahulu. Itu pengecualian.
Hari itu Donna resmi dipersunting laki-laki yang telah dikencaninya selama dua atau tiga tahun belakangan. Adalah Eko yang kemudian menyandang status sebagai kakak ipar saya. Campur aduk. Ada perasaan bangga, bahagia, haru, dan sedih. Tentu saja, yang saya bicarakan ini, karena dia akan berganti teman tidur. Tetapi, sejujurnya, yang paling menyedihkan, dia akan hijrah bersama suaminya ke Italia.
Meski kasur menjadi lebih luas dan saya bisa menguasai bantal, itu artinya, tidak ada lagi malam curhat persaudaraan jelang saat tidur tiba. Lalu, kepada siapa saya akan mengutuki laki-laki brengsek atau teman yang tidak tahu diri? Kepada siapa saya akan merengek meminta dana talangan ditengah bulan? Atau menelanjangi diri mengungkapkan kekurangan orangtua kami? Tuhan, saya mendadak membenci hari ini. Tidakkah semuanya terasa begitu cepat. Atau mungkin, Kau memang terlampau cepat mendewasakan kami.
P.S i love you, a sister by blood-a friend by choice :)
Maret 28, 2012
Langganan:
Postingan (Atom)