Keterlambatan jam penerbangan, dan keputusan mendarat darurat di bandar udara yang bukan tujuanmu memang menyebalkan. Apalagi, jika petugas maskapai penerbangan yang bersangkutan tidak sepenuh hati melayanimu. Lelah, lapar, dan meleset dari apa yang telah kau rencanakan adalah imbas yang tidak bisa dihindari. Tetapi, begitulah hebatnya perjalanan, selalu ada kejutan.
Siak, Pekanbaru
Selang lima hari melancong ke Phuket, Thailand, aku terbang menuju Siak, salah satu kabupaten di Provinsi Pekanbaru. Tak usah disebut lah ya apa yang membawaku kesini. Anggap saja, aku tengah mengunjungi kampung halaman teman seprofesiku, Afni. Anak Siak yang berhasil menyabet gelar Master of Science dan berkarir sebagai jurnalis di ibukota Jakarta.
“Pesawat terpaksa mendarat di bandar udara Polonia, Medan, karena cuaca buruk yang tidak memungkinkan untuk mendarat di tempat tujuan, yakni bandar udara Sultan Syarif Kasim II, Pekanbaru,” ujar pilot pada pengeras suara dalam pesawat. Alhasil, badan pesawat yang tadinya sempat menukik turun, kembali mengudara disambut gaduh suara penumpang bertanya-tanya.
Sebetulnya, aku sama paniknya dengan mereka semua. Guncangan yang terasa di dalam pesawat lebih hebat dari yang pernah kurasakan. Hujan lebat dan awan tebal penyebabnya. Sontak aku meremas tangan kiri Afni yang duduk tepat di sebelah kananku. “Af,” lirihku khawatir. Ketakutanku itu tak mendapat respon dari Afni, kecuali membalas dengan wajah datar.
Tepat pukul 22.22 WIB aku dan sekitar 100 penumpang lainnya keluar dari perut pesawat. Ketika itu, tidak ada satu orang pun yang menjelaskan tentang apa yang akan kami lakukan setelah ini. Keputusan petugas maskapai penerbangan sempat menggantung di udara sampai kira-kira 30 menit kemudian kami semua diboyong untuk menginap satu malam di Medan.
Memang sih, fasilitas yang disediakan lumayan membayar lelah kami. Dua hotel berbintang jadi pelabuhan sementara para penumpang, sebagian tinggal di Soechi Hotel-Novotel, sedangkan sisanya bermalam di Hotel Tiara. Aku yang malam itu kandung lelah, sudah tidak sempat mengkritik petugas maskapai penerbangan. Bahkan, Afni yang tak henti mengoceh pun tak kuladeni kali ini.
Pukul 05.30 WIB aku sudah rapih. Hanya mengganti kaus dan menggosok gigi, pagi itu aku sempat menyantap semangkuk sereal. Agak terlunta-lunta sebelum akhirnya pesawat membawa kami kembali ke Pekanbaru. Dan, dengan membawa tas besar seberat bayi kembar, aku tertidur lelap ketika pesawat mengudara. Saking nyenyaknya, sepengetahuanku, aku bangun 10 menit sebelum pesawat mendarat.
Afni yang agak tergesa-gesa dalam melakukan beberapa hal, sudah masuk dalam taksi. Aku menyusul. Dan, taksi tanpa argo itu pun melesat. 20 menit kemudian, kami sudah melantai di rumah kakak ipar Afni. Pria berdarah asli jawa itu dengan ramahnya menawarkan kami beristirahat. Sayang, kami hanya sempat menyantap semangkuk sayur lontong lokal dan bergegas menuju Siak.
Mobil sewaan berwarna telor asin melaju. Aku sebagai pengemudi, dan Afni sebagai navigator. Kami ganti-gantian tukar pengalaman sambil menyusuri jalan selama tiga jam untuk sampai di Siak. Sekali-kali kami hening. Aku menikmati pemandangan jalan di sisi kiri dan kanan, termasuk truk gandar 12 yang terjerembab masuk parit akibat kelebihan kapasitas. Sementara, Afni sibuk bertelepon dan menggunakan pelembap wajah.
Seorang suami istri lansia menyambut kami. Logat melayu yang terlampau kental membuatku kurang memahami apa yang mereka bicarakan. Beruntung, Afni dengan sigapnya memberi penjelasan acap kali melihat jidatku berkerut. Adalah ibu Erma dan bapak Zulkifli dari temanku itu yang barusan memberikan ucapan selamat datang, diikuti oleh empat saudara laki-laki Afni lainnya, Irfan, Hamka, Hatta, dan Fai (semoga aku benar mengejanya).
Ibu Erma menyiapkan makanan untuk aku dan Afni. Menu siang ini, ikan gabus balado plus tempe. Oh, ngiler. Aku pribadi memang suka sekali masakan rumah, makanan kampung atau apalah itu. Aku jadi teringat Kessy, si mbak di rumah yang selalu memasak makanan kampung setiap aku meminta. Biasanya aku minta dibuatkan ikan mujahir, bandeng, atau tongkol, sambal terasi, dan tempe.
Sejak tersesat di Medan kemarin, aku belum sempat mandi. Adalah air sungai Siak. Warna air permandiannya menyerupai lemon-tea, kuning kecokelatan. Jujur, awalnya aku ragu soal kebersihan air disini. Tapi sudahlah, toh warga sekitar mandi dari air sungai kecokelatan itu pun masih berusia panjang dan tidak menderita penyakit kulit. Asal tidak untuk diminum. Maklum, layanan PAM sangat terbatas, masyarakat Siak saja biasa mengandalkan air hujan untuk diminum.
Lanjut crita, belakangan, Ira muncul. Ira, tak lain adalah sahabat karib Afni semasa sekolah di Siak. Karena, aku tipikal orang yang terbuka dan tidak canggung berhadapan dengan orang baru, Ira mendadak menjadi sahabat karibku juga. Kami bertukar cerita, tertawa, menyantap es kelapa (di Siak es kelapa dilarutkan dengan gula pasir) dan menghabiskan sore jelang malam di tepi sungai Siak.
Kembali ke rumah, tahu-tahu ibu Erma telah menyiapkan makanan malam. Dari makan malam itulah, kami mulai berbincang. Mulanya mengenal satu sama lain dengan menanyakan nama, pekerjaan, tempat tinggal. Hingga, pengalaman hidup di Jakarta dan tak ketinggalan tentunya, jodoh. Buat aku yang lajang di usia 28 tahun, obrolan semacam ini seolah menuntut pengakuan dosaku yang terlalu sibuk berkarir.
Semakin malam obrolan semakin serius loh. Agama. Entah kenapa, aku suka sekali memperdebatkan keyakinan atau kepercayaan orang lain. Ujung-ujungnya, seisi rumah angkat suara. Afni dan keluarganya, termasuk Ira merupakan Muslim yang taat. Berbeda sekali dengan aku yang terlahir sebagai Protestan, yang belakangan memilih mempercayai Yesus Kristus tanpa harus memeluk agamanya.
Orangtua Afni itu terkejut mendengar pengakuanku. Mereka mengkritisi caraku berpikir dan memaknai agama. Ah, mereka hanya belum mengenalku. Akulah satu-satunya batu yang tidak akan tumbang menjadi karang dan butiran pasir di pantai. Dalil agama apapun langsung kupatahkan jika moral dan perilaku manusia masih menyerupai binatang. Lupakan! Bukan untuk itu tulisan ini dibuat.
Minggu pagi aku terbangun. Rupanya, aktivitas penghuni rumah yang membangunkanku. Ibu Erma mondar mandir ke dapur memasak. Sedangkan lainnya sibuk mempersiapkan permainan flying fox di halaman belakang. Mana mungkin, aku asyik tertidur di tengah orang lalu lalang di atas kepalaku. Skip this part, langsung saja aku, Afni dan Ira mencari santap pagi. Kami pergi ke pasar, disanalah pusat jajanan enak telah menanti.
Aku memilih mie basah, sedangkan dua perempuan berjilbab ini memilih lontong pecel. Kuliner disini sangat enak. Entah, karena aku sedang doyan makan atau rasanya memang enak. Di restoran yang pemiliknya berdarah Tiong Hoa itu, aku melihat beberapa pengunjung restoran lain mengamatiku. Tampaknya, mereka hafal betul untuk membedakan warga Siak dan pendatang.
Siang hari kami duduk bersama di tepi sungai siak. Aku asyik menulis catatan ini (yang sekarang kalian baca), lainnya mengobrol, dan sisanya bermain di halaman belakang. Aku berkesempatan memainkan daftar lagu favorit di iPod-ku. Aku langsung menyambar pengeras suara dan memutar lagu sekeras-kerasnya. Sangat keras hingga bapak Zulkifli memutuskan untuk mematikan pengeras suara, tanpa mengecilkan volumenya terlebih dahulu, tanpa menekan tombol henti pada iPodku.
Tiba-tiba Afni mendapat pesan singkat. Direktur salah satu operator minyak di Siak meminta dia dan aku untuk datang di perhentian heli di dekat jembatan Sultanah Agung Latifah, jembatan termegah di Siak. Afni tampil cukup rapih, sedangkan aku hanya bermodalkan kaus ungu dan sendal hotel. Sial. Aku terpaksa turun dari mobil menghampiri Afni dan beberapa pejabat daerah dan deputi menteri dari Jakarta yang sedang ber-ramah tamah.
“Kapan aku pulang? Kapan aku pulang, Af?” batinku berteriak.
“Tiket pesawat ke Jakarta terlalu mahal untuk kita kembali ke Jakarta esok, Senin (20/6), Rong!” Afni tiba-tiba berkelakar.
Mati aku! Aku punya pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan di Jakarta. Aku jurnalis untuk harian bisnis dan investasi yang bekerja setiap Minggu sampai Jumat. Tetapi, saat ini juga aku menuliskan cerita ini, aku masih di tepi sungai Siak sambil menikmati es kelapa keduaku sejak menginjak Siak.
Juni 19, 2011
Traveller's Shoes (1)
Tak peduli seberapa sesaknya kau mengantri saat boarding pass menuju perut pesawat, perjalanan – apapun tujuannya, selalu berhasil membuatmu tersenyum. Bahkan, kau rela melenyapkan tiga hingga lima bulan gajimu hanya untuk mengongkosi sepekan keberadaanmu ditengah-tengah orang yang tidak kau kenal. Percayalah, kakimu itu cukup pantas memakai sepatu paling nyaman untuk membawamu melangkah ke tempat-tempat indah.
Phuket, Thailand
Aku tidak pernah membayangkan sebelumnya akan melihat kota utama di selatan Thailand ini. Alasannya sederhana, terlalu mahal untuk mewujudkan liburan di tempat syuting salah satu film Hollywood yang dibintangi Leonardo DiCaprio, The Beach. Faktanya, mimpiku jadi kenyataan setelah Oktober 2010 lalu aku mengamini keinginan Igun, salah satu teman perjalananku, untuk membeli tiket promo ke Phuket. Yang diikuti dengan bergabungnya Agha, teman lainnya.
Minggu, 5 Juni 2011, aku menginjakkan kakiku untuk pertama kalinya di Phuket. Selain Igun dan Agha, ada pula Anna dan Ia, dua teman lain yang bergabung pada detik-detik terakhir. Sayang, kami tiba terlalu malam untuk menikmati si cantik Phuket. Alhasil, setelah bersih-bersih di penginapan yang cukup layak disebut hotel untuk harga 200 baht alias Rp 60.000 per orang (1 baht = Rp 300), kami hanya bisa membunuh waktu sebelum tidur dengan menyantap isi gerobak penjaja makanan di depan penginapan.
Nasi ketan, babi bakar, dan sate babi jadi menu pilihan makan malam – telatku ketika itu. Sebetulnya, agak aneh mengunyah nasi ketan di malam hari. Apalagi, dengan lauk babi. Tetapi, kebanyakan gerobak serupa memang hanya menyajikan nasi ketan. Jadi, inilah kuliner Thailand, pikirku. Jelas berbeda dengan nasi ketan yang aku santap di negeri asal, di Jakarta biasanya disajikan dengan tempe, sementara di Medan dimakan dengan pisang dan di Pekanbaru disantap bareng durian.
Tak mau rugi, kami berlima bangun pagi-pagi sekali keesokan harinya, sekitar pukul 8. Cukup pagi bagiku yang hobi bangun tidur di atas pukul 10. Pagi itu kami mengunjungi Karon Beach. Letaknya sekitar 300 meter di belakang penginapan. Garis bibir pantainya cukup pendek, kami menyusurinya dari ujung ke ujung. Pemandangannya yang langka, air laut yang hijau berpadu dengan birunya langit. Banyak pelancong tergeletak santai bak ikan terdampar di atas pasir berwarna kuning gading.
Igun dan Ia tergoda untuk bermain air. Sementara, aku, Agha, dan Anna asyik menonton sambil menyeruput es kelapa. Sampai, langit mendung menyelimuti kami, dan hujan turun, jadilah kami memutuskan untuk kembali ke penginapan. Tak puas dengan aktivitas itu, kami ber”tuk-tuk ria” menuju Patong Beach. Sekitar delapan kilometer dari penginapan. Adalah Jungceylon, gedung pusat perbelanjaan dan hiburan di area Patong Beach yang akhirnya kami kunjungi.
Tapi jangan salah sangka dulu! Kami tidak nge-mal ala anak metropolitan loh. Melainkan menghibur diri untuk menonton film-film box office yang tidak diputar di Indonesia. Sebut saja, Kungfu Panda 2, Pirates of The Carribean 4, dan Fast Furious 5. Bangga bukan main. Maklum, cukup merogoh kocek 80 baht untuk tiket ala nomat, dan 120 baht untuk tiket regular, kami berlima bisa pamer potongan tiket dan cerita seru dari film-film yang dimainkan kepada teman kami masing-masing.
Kemudian, kami juga mencoba makanan dari satu tempat ke tempat lain, dari kelas gerobak sampai kelas restoran. Dan, entah bagaimana, babi dengan sajian yang berbeda-beda, dan Chang Beer (bir lokal) tidak pernah luput dari daftar pesananku. Teman-temanku sempat memprotes pola makanku yang mereka anggap monoton itu. But, i really enjoy it. I really dit.
Tea, begitu kami menyapa Chai (baru belakangan kami ketahui nama sebenarnya) yang menjadi pemandu wisata. Dia melego beragam paket wisata yang menggiurkan, mulai dari Phi Phi Island, James Bond Island, aksi lenggak-lenggok para waria dalam Simon Cabaret, Phuket Fantasea, hingga sewa mobil dan sepeda motor. Yang terakhir tidak menjadi pilihan mengingat tidak satu orang pun yang mengantongi surat izin mengemudi internasional.
Beruntung, Tea alias Chai yang lemah lembut nan pendiam itu menawarkan antar-jemput plus paket wisata harian dengan harga lumayan murah. Jadilah kami menyewa jasanya seharian penuh hanya dengan membayar 1.600 baht. Jumlah itu hasil patungan kami berlima untuk menikmati Big Buddha, kuil-kuil bersejarah, termasuk mendampingi kami wisata belanja.
Phi Phi Island, satu-satunya pulau yang menyihirku. Perjalanan dengan kapal laut berkapasitas 50 orang ini benar-benar membuatku takjub. Lautnya bersih, meski ada juga pemandangan plastik-plastik bekas menjorok ke bibir pantai. Kapal-kapal yang bersandar seolah mencubit lenganku mencoba menyadarkan bahwa aku tidak sedang berada di Ancol, Jakarta. Dan, terutama, pemandangan bule-bule ber-tattoo bertelanjang dada itu loh. They really turns me on.
Aku juga ingat ketika kapal kami berlabuh di Khai Beach. Sejujurnya, pantai ini tidak kalah indah. Malah, batu-batu karang yang menghias separo pulau tak berpenghuni tersebut makin terlihat seksi. Hanya saja, ketika aku beraktivitas snorkling, hanya segerombolan ikan-ikan seukuran jempol tanganku yang ada di alam bawah laut. Lainnya tidak ada. Berbeda dengan yang kutemui di bawah laut di perairan Phi Phi, aku melihat banyak jenis ikan.
Oh iya, adegan yang paling kusuka adalah bagian ketika aku melompat ke laut dari kapal yang kutumpangi. Sederhana saja, mimpiku adalah melemparkan tubuhku ke hamparan air di tengah laut. Tanpa life jacket, hanya bermodalkan kacamata dan alat bernafas, plus bikini dan celana pendek yang kukenakan pastinya. Kau tahu apa yang kurasakan saat air menampar tubuhku? Aku merasa lebih beruntung dari Leighton Meester yang mendadak melejit sebagai bintang serial Gossip Girl.
Menikmati Phuket tidak melulu soal pantai, bikini, atau tabir surya. Jangan lupa, Phuket juga terkenal dengan dunia malamnya yang gemerlap. Pernah mendengar aksi para waria memamerkan lekuk tubuh mereka sebagai penari telanjang? Ah, saranku, matamu harus menyaksikannya sendiri. Karena, sampai hari ini pun, aku tidak menyangka para waria itu berhasil menandingi kecantikan Luna Maya.
Aku dan empat temanku lainnya juga mencicip Ping Pong Show. Menyaksikan mereka (diantaranya terdapat waria) memecahkan balon dengan menembakkan jarum yang ditancap pada vagina mereka. Belum lagi, aksi unik, seperti menghisap rokok lewat vagina, dan bermain bola ping pong (keluar-masuk) melalui vagina mereka. Pertunjukan ekstrem yang dilabel seharga 500 baht ini sungguh menghibur.
Bahkan, lebih menghibur dari malam terakhir yang kuhabiskan di dua kelab malam di Bangla Road. Sedikit cerita, sekitar dua jam berada di Hollywood kuakhiri dengan pertikaian kecil dengan petugas keamanan setempat. Aku mengacungkan jari tengah ke wajah petugas itu. Aku memang temperamental. Tetapi aku juga tidak bisa diam saja melihat arogan wajah tukang jaga kelab tersebut memandang rendah kami, terutama saat Daniel – salah satu teman lokal kami beraksi di lantai dansa.
Phuket, Thailand
Aku tidak pernah membayangkan sebelumnya akan melihat kota utama di selatan Thailand ini. Alasannya sederhana, terlalu mahal untuk mewujudkan liburan di tempat syuting salah satu film Hollywood yang dibintangi Leonardo DiCaprio, The Beach. Faktanya, mimpiku jadi kenyataan setelah Oktober 2010 lalu aku mengamini keinginan Igun, salah satu teman perjalananku, untuk membeli tiket promo ke Phuket. Yang diikuti dengan bergabungnya Agha, teman lainnya.
Minggu, 5 Juni 2011, aku menginjakkan kakiku untuk pertama kalinya di Phuket. Selain Igun dan Agha, ada pula Anna dan Ia, dua teman lain yang bergabung pada detik-detik terakhir. Sayang, kami tiba terlalu malam untuk menikmati si cantik Phuket. Alhasil, setelah bersih-bersih di penginapan yang cukup layak disebut hotel untuk harga 200 baht alias Rp 60.000 per orang (1 baht = Rp 300), kami hanya bisa membunuh waktu sebelum tidur dengan menyantap isi gerobak penjaja makanan di depan penginapan.
Nasi ketan, babi bakar, dan sate babi jadi menu pilihan makan malam – telatku ketika itu. Sebetulnya, agak aneh mengunyah nasi ketan di malam hari. Apalagi, dengan lauk babi. Tetapi, kebanyakan gerobak serupa memang hanya menyajikan nasi ketan. Jadi, inilah kuliner Thailand, pikirku. Jelas berbeda dengan nasi ketan yang aku santap di negeri asal, di Jakarta biasanya disajikan dengan tempe, sementara di Medan dimakan dengan pisang dan di Pekanbaru disantap bareng durian.
Tak mau rugi, kami berlima bangun pagi-pagi sekali keesokan harinya, sekitar pukul 8. Cukup pagi bagiku yang hobi bangun tidur di atas pukul 10. Pagi itu kami mengunjungi Karon Beach. Letaknya sekitar 300 meter di belakang penginapan. Garis bibir pantainya cukup pendek, kami menyusurinya dari ujung ke ujung. Pemandangannya yang langka, air laut yang hijau berpadu dengan birunya langit. Banyak pelancong tergeletak santai bak ikan terdampar di atas pasir berwarna kuning gading.
Igun dan Ia tergoda untuk bermain air. Sementara, aku, Agha, dan Anna asyik menonton sambil menyeruput es kelapa. Sampai, langit mendung menyelimuti kami, dan hujan turun, jadilah kami memutuskan untuk kembali ke penginapan. Tak puas dengan aktivitas itu, kami ber”tuk-tuk ria” menuju Patong Beach. Sekitar delapan kilometer dari penginapan. Adalah Jungceylon, gedung pusat perbelanjaan dan hiburan di area Patong Beach yang akhirnya kami kunjungi.
Tapi jangan salah sangka dulu! Kami tidak nge-mal ala anak metropolitan loh. Melainkan menghibur diri untuk menonton film-film box office yang tidak diputar di Indonesia. Sebut saja, Kungfu Panda 2, Pirates of The Carribean 4, dan Fast Furious 5. Bangga bukan main. Maklum, cukup merogoh kocek 80 baht untuk tiket ala nomat, dan 120 baht untuk tiket regular, kami berlima bisa pamer potongan tiket dan cerita seru dari film-film yang dimainkan kepada teman kami masing-masing.
Kemudian, kami juga mencoba makanan dari satu tempat ke tempat lain, dari kelas gerobak sampai kelas restoran. Dan, entah bagaimana, babi dengan sajian yang berbeda-beda, dan Chang Beer (bir lokal) tidak pernah luput dari daftar pesananku. Teman-temanku sempat memprotes pola makanku yang mereka anggap monoton itu. But, i really enjoy it. I really dit.
Tea, begitu kami menyapa Chai (baru belakangan kami ketahui nama sebenarnya) yang menjadi pemandu wisata. Dia melego beragam paket wisata yang menggiurkan, mulai dari Phi Phi Island, James Bond Island, aksi lenggak-lenggok para waria dalam Simon Cabaret, Phuket Fantasea, hingga sewa mobil dan sepeda motor. Yang terakhir tidak menjadi pilihan mengingat tidak satu orang pun yang mengantongi surat izin mengemudi internasional.
Beruntung, Tea alias Chai yang lemah lembut nan pendiam itu menawarkan antar-jemput plus paket wisata harian dengan harga lumayan murah. Jadilah kami menyewa jasanya seharian penuh hanya dengan membayar 1.600 baht. Jumlah itu hasil patungan kami berlima untuk menikmati Big Buddha, kuil-kuil bersejarah, termasuk mendampingi kami wisata belanja.
Phi Phi Island, satu-satunya pulau yang menyihirku. Perjalanan dengan kapal laut berkapasitas 50 orang ini benar-benar membuatku takjub. Lautnya bersih, meski ada juga pemandangan plastik-plastik bekas menjorok ke bibir pantai. Kapal-kapal yang bersandar seolah mencubit lenganku mencoba menyadarkan bahwa aku tidak sedang berada di Ancol, Jakarta. Dan, terutama, pemandangan bule-bule ber-tattoo bertelanjang dada itu loh. They really turns me on.
Aku juga ingat ketika kapal kami berlabuh di Khai Beach. Sejujurnya, pantai ini tidak kalah indah. Malah, batu-batu karang yang menghias separo pulau tak berpenghuni tersebut makin terlihat seksi. Hanya saja, ketika aku beraktivitas snorkling, hanya segerombolan ikan-ikan seukuran jempol tanganku yang ada di alam bawah laut. Lainnya tidak ada. Berbeda dengan yang kutemui di bawah laut di perairan Phi Phi, aku melihat banyak jenis ikan.
Oh iya, adegan yang paling kusuka adalah bagian ketika aku melompat ke laut dari kapal yang kutumpangi. Sederhana saja, mimpiku adalah melemparkan tubuhku ke hamparan air di tengah laut. Tanpa life jacket, hanya bermodalkan kacamata dan alat bernafas, plus bikini dan celana pendek yang kukenakan pastinya. Kau tahu apa yang kurasakan saat air menampar tubuhku? Aku merasa lebih beruntung dari Leighton Meester yang mendadak melejit sebagai bintang serial Gossip Girl.
Menikmati Phuket tidak melulu soal pantai, bikini, atau tabir surya. Jangan lupa, Phuket juga terkenal dengan dunia malamnya yang gemerlap. Pernah mendengar aksi para waria memamerkan lekuk tubuh mereka sebagai penari telanjang? Ah, saranku, matamu harus menyaksikannya sendiri. Karena, sampai hari ini pun, aku tidak menyangka para waria itu berhasil menandingi kecantikan Luna Maya.
Aku dan empat temanku lainnya juga mencicip Ping Pong Show. Menyaksikan mereka (diantaranya terdapat waria) memecahkan balon dengan menembakkan jarum yang ditancap pada vagina mereka. Belum lagi, aksi unik, seperti menghisap rokok lewat vagina, dan bermain bola ping pong (keluar-masuk) melalui vagina mereka. Pertunjukan ekstrem yang dilabel seharga 500 baht ini sungguh menghibur.
Bahkan, lebih menghibur dari malam terakhir yang kuhabiskan di dua kelab malam di Bangla Road. Sedikit cerita, sekitar dua jam berada di Hollywood kuakhiri dengan pertikaian kecil dengan petugas keamanan setempat. Aku mengacungkan jari tengah ke wajah petugas itu. Aku memang temperamental. Tetapi aku juga tidak bisa diam saja melihat arogan wajah tukang jaga kelab tersebut memandang rendah kami, terutama saat Daniel – salah satu teman lokal kami beraksi di lantai dansa.
Langganan:
Postingan (Atom)