Kalau saya jadi presiden, hari ini saya kumpulkan oknum-oknum yang mengklaim diri mereka Islam, yang kerap meneriakkan "allahuakbar," tetapi menganiaya sesama. Saya akan tanya siapa TUHAN-nya? Saya akan tanya apa agama-nya? Termasuk, tempat mereka beribadah. Kalau TUHAN, agama dan tempat beribadah mereka ternyata sama persis dengan teman-teman saya yang Islam, maka saya akan mengajak mereka (Islam) yang tidak menyerang Ahmadiyah untuk berpindah kewarganegaraan.
Karena, Pemerintah Indonesia sudah sangat keterlaluan payahnya menjaga keamanan dan ketenteraman umat beragama di tanah kelahirannya sendiri. Ironis, melihat satu sama lain seperti berlomba-lomba mengucurkan darah mereka-mereka yang tergabung dalam Ahmadiyah. Seolah-olah ingin menegaskan, ada Islam di atas Islam. Dan lucunya, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono cuma bisa menginstruksikan agar dilakukan investigasi sebab-akibat peristiwa penyerangan Ahmadiyah.
Kalau saya jadi salah satu anggota Ahmadiyah, saya tidak akan segan-segan meminta suaka oleh pemerintah negara tetangga. Malaysia misalnya. Negara produsen teroris itu saja mampu menjaga keamanan umat beragama. Padahal, kita tahu, tidak sedikit warga negara keturunan Tionghoa yang memeluk Budha, atau India yang beragama Hindu. Jangan lupa, sejarahnya, Indonesia pun bukan negara beragama. Contohnya, Parmalim sebagai kepercayaan asli orang Batak dan Wiwitan sebagai kepercayaan asli orang Sunda. Jangan ingkari sejarah!
Saya teringat beberapa diskusi yang saya hadiri dengan teman-teman Jamaah Islamiyah Liberal (JIL) sewaktu alm Gus Dur masih aktif menjadi pembicara. Rekan saya bernama M Guntur Romli yang pernah menjadi korban kekerasan Front Pembela Islam, misalnya mengatakan kepada saya, "Islam sempurna jika bisa berdiri bersama agama lain." Indahnya. Walaupun, sejujur, saya pribadi pesimis, mengingat doktrin-doktrin Islam yang radikal yang saya dapatkan ketika saya duduk di bangku SMP (ya, saya pernah mempelajari Islam).
Ngeri. Dengan catatan pemeluk agama Islam terbesar, Pemerintah Indonesia malah tidak mumpuni mengatur mereka yang mengklaim diri mereka Islam tapi kemudian menyakiti sesama. Parahnya, penyerangan serupa juga dialami oleh penganut non-Islam yang hanya karena alasan rumah ibadahnya tidak mengantongi izin bangunan. (Ingat: penyerangan terhadap jemaat gereja Huria Kristen Batak Protestan di Pondok Timur Indah, Bekasi). Hebat memang, cuma Islam di Indonesia yang bisa begini.
Apa yang salah dengan pemeluk Islam di Indonesia? Mari berkaca pada Gus Dur. Mantan Presiden RI yang tidak memiliki penglihatan sempurna itu mampu melihat lebih luas arti kebebasan umat beragama. Bahwa, Kong Hucu adalah hak asasi setiap manusia untuk memeluk agama. Bahwa, Islam bukanlah satu-satunya agama di Indonesia, seperti yang menjadi cita-cita politisi karbitan Amien Rais. Bahwa, keberagaman agama adalah sebagai amanat Bhinneka Tunggal Ika dan mutlak.
Seandainya Gus Dur masih bernafas, mungkin beliau miris menengok cara kebanyakan pemeluk Islam di Indonesia berdampingan dengan penganut non-Islam. Semoga kebajikanmu menular pada kami, cak!
Februari 07, 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar