Kalau sebagian orang menyebut Singapura sebagai hutan beton, sebaiknya Anda kunjungi terlebih dahulu Hong Kong. Ya, Daerah Administratif Khusus bagian dari negara Republik Rakyat Tiongkok tersebut boleh dibilang rajanya hutan beton. Bagaimana tidak, nyaris seluruh bangunan di Hong Kong memiliki lebih dari 10 lantai. Mungkin, cuma bandar udara dan pelabuhan di Hong Kong saja yang memiliki 3 – 5 lantai. Gedung perkantoran, apartemen, pusat perbelanjaan, [erhotelan pun menjulang tinggi berlapis-lapis. Maklumlah, dengan total wilayah sekitar 1.100 km2 dan penduduk lebih dari 6,8 juta, Hong Kong seperti terpaksa dibangun vertikal.
Di beberapa wilayah, gedung-gedung pencakar langitnya tampak baru dan sangat modern. Seperti di wilayah Central. Namun, di wilayah lainnya, gedung-gedung yang menjadi tempat tinggal warga, seperti apartemen, rumah tinggal dan penginapan turis hampir boleh dibilang kumuh. Gedungnya tua, meski kebanyakan interior di dalam masih cukup terawat.
Meski begitu, harga bangunan di Hong Kong pun selangit. Dari berita-berita media massa, saya dengar, tidak gampang seorang kaya untuk memiliki rumah. Keterbatasan lahan mengakibatkan harga properti di Hong Kong menjadi teramat mahal. Apalagi, biaya hidup juga lumayan menguras kocek. Sehingga, tidak sedikit warga lokal yang memilih menyewa rumah atau apartemen, ketimbang membeli rumah, seumur hidupnya.
Bagi turis seperti saya, akibatnya, harga penginapan tidak bisa dibilang murah. Saya dan dua orang teman harus membayar 700 dollar Hong Kong (1.540 rupiah per dollar Hong Kong pada nilai tukar Juni 2014) untuk tinggal selama dua malam di penginapan kelas hostel berukuran 1,5m X 2,5m. Itu masih boleh dibilang murah karena saya memilih lokasi di pusat turis, Tsim Sha Tsui.
Oh ya, Anda jangan kaget ya, dengan ukuran hostel tempat saya menginap, hampir mustahil untuk Anda melakukan banyak gerak selama di dalam kamar. Asal tahu saja, UK Hostel, tempat saya menginap di Tsim Sha Tsui, terdiri dari dua tempat tidur (satunya kecil, lainnya super kecil), serta kamar mandi imut. Jangan harap bisa berduaan di kamar mandi. Sendiri saja susah.
Beruntungnya, saya kan turis. Saya tidak punya alasan untuk berlama-lama di hostel, selain untuk tidur. Jadi, setiap bangun pagi, saya dan dua orang teman saya langsung menikmati wisata di Hong Kong. Hari pertama, saya sih tidak terburu-buru waktu, sehingga saya memilih untuk berjalan-jalan sekitar tempat saya tinggal. Ya, jalan-jalannya sekitar 6 km lah. Saya masuk ke pusat-pusat belanja, wisata kuliner dan mondar-mandir mencoba transportasi kereta bawah tanah dari satu perhentian ke lainnya.
Hari kedua, saya mengunjungi The Victoria Peak yang terkenal itu. Dari tempat saya menginap, saya hanya perlu naik kereta jaringan bawah tanah (disebut MTR) ke arah central. Darisana, tinggal jalan kaki deh barang 15 – 20 menit ke arah The Peak Terminus. Saya membeli tiket tram pulang pergi sekitar 80 dollar Hong Kong untuk sampai ke puncak.
Ada banyak hal yang bisa dilakukan di The Victoria Peak, selain foto-foto pemandangan kota dengan gedung-gedung pencakar langitnya dan mengunjungi museum lilin Madame Tussaud tentunya. Sebut saja, menikmati secangkir kopi sembari membaca buku atau ngobrol dengan teman. Anda juga bisa berbelanja disini. Banyak toko-toko yang menjajakan oleh-oleh, kosmetik, pakaian, sepatu, alat tulis dan sebagainya. Soal harga, lumayan murah dari Jakarta, tetapi tetap lebih mahal dari pasar tradisional di Hong Kong (dengan catatan, pintar menawar).
Selain The Victoria Peak, tempat wisata yang juga paling banyak dikunjungi adalah Disneyland. Ini adalah taman hiburan racikan Walt Disney Company dan pemerintah setempat di Teluk Penny, Pulau Lantau, Hong Kong. Taman ini dibuka untuk umum pada 12 September 2005. Ada banyak wahana di Disneyland Hong Kong. Antara lain, High School Musical (pertunjukan langsung), Disney in the Stars, Disney on Parade, Muppet Mobile Lab dan lain sebagainya.
Saya sih tidak sempat mampir ke Disneyland Hong Kong. Bukan cuma karena waktunya tidak cukup, tetapi juga saya memang kurang tertarik. Rasanya, harus bawa anak kalau kesini, bukan teman. Kalau boleh saran bagi Anda yang lajang, lebih baik ke Giant Buddha. Patung Buddha yang super besar atau Big Buddha (terbentang setinggi 34 meter) perunggu ini lebih menarik untuk berfoto. Tetapi, siapkan stamina ya! Soalnya, Anda harus menaiki 268 anak tangga untuk sampai pada Big Buddha,
Berbeda dengan The Victoria Peak, tempat wisata Big Buddha ini menawarkan pemandangan gunung dan laut. Di seberang patung terdapat Biara Po Lin. Rumah suci penganut Buddha ini dihias dengan manifestasi ikonografi Buddha. Di taman sekitar biara diputar kicauan burung dan semerbak harum bunga. Anda juga dapat memanjakan lidah di restoran vegetarian sekitar. Tempat ini terletak di Ngong Ping, Pulau Lantau, Hong Kong.
Saya dan dua teman berpindah tempat penginapan ke Kowloon, tepatnya di Argylee Street. Penginapan disini lebih murah. Di Xiang Ji Hostel, saya cuma merogoh kocek 250 dollar Hong Kong untuk bertiga. Luas kamarnya tidak jauh berbeda dari hostel sebelumnya. Mungkin sedikit lebih lebar. Perbedaannya, meski bangunannya sama tua, tetapi kebersihan kamar di UK Hostel masih lebih baik. Xiang Ji Hostel ini lumayan menyeramkan, bau dan kotor.
Di Kowloon, saya boleh bilang, pusatnya wisata belanja. Mulai dari pakaian bermerk sampai pasar tradisional, Ladies Market. Beruntung, saya tinggal di seberang Ladies Market. Saya cuma butuh 5 menit untuk memuaskan nafsu belanja. Selain Ladies Market, ada juga Langham Place dan Mall. Disini, Anda bisa berbelanja seluruh produk fesyen dan kosmetik dengan harga bersaing dibandingkan Jakarta loh. Merek-merek seperti H&M, Channel, Levis, G2000 bertebaran dan menggoda dompet.
Lautan manusia
Hong Kong, seperti halnya Jakarta, bahkan lebih meriah dari Jakarta. Hiruk pikuk di Hong Kong seolah tak kenal waktu. Tidak ada jam pasti untuk mendapati kekosongan jalan disini. Semua orang lalu lalang dan kendaraan bermotor mondar-mandir. Hanya, untuk urusan lalu lintas, di Hong Kong jauh lebih baik daripada Jakarta. Jauh.
Kowloon dan Tsim Sha Tsui adalah dua wilayah yang paling banyak dipadati turis dan warga lokal. Jangan harap Anda bisa berjalan santai di keramaian. Terutama jelang sore. Ketika kelontong jajanan menggelar dagangannya, banyak sekali orang berbondong-bondong antri memadati jalanan atau makan sambil berdiri layaknya di resepsi nikahan gedungan.
Bahkan di tempat penyebrangan sekalipun, antrian manusia yang ingin menyebrang tumpah ruah. Jika Anda bersama teman, jangan sampai kehilangan deh. Repot. Kenapa repot? Karena jalanan di Hong Kong mirip di Eropa (Italia yang pernah saya kunjungi). Jalanan di Hong Kong terdiri banyak blok dan persimpangan. Di hampir setiap blok ada toko ritel dan stasiun jaringan kereta bawah tanah. Jangan sampai Anda terkecoh.
Naasnya lagi, tidak semua warga mahir berbahasa inggris. Beberapa di antara mereka yang berbahasa inggris, sangat kental dialek Tiongkok, sehingga saya kerap kesulitan berkomunikasi. Selain itu, ada sebagian warga yang tidak ramah dengan pendatang, bahkan di pasar tradisional mereka, jika Anda menawar harga cukup rendah, Anda bisa dijudesin loh. Meski begitu, tidak sedikit juga yang ramah.
Transportasi ramah
Di Hong Kong, untuk mencapai satu tujuan, Anda tidak perlu khawatir. Apalagi, jika memanfaatkan jaringan kereta bawah tanah (MTR). Dari bandara, Anda bisa langsung ke pusat kota dengan kereta. Ongkosnya pun murah. Sekitar 60 dollar Hong Kong. Itu sudah termasuk ganti line kereta loh. Jika Anda naik taksi, katanya sih, bisa menghabiskan sekitar 250 dollar Hong Kong atau jika Anda ingin naik bus kota, meski murah tetapi jangan harap bisa tiba tepat waktu.
Saya sendiri memilih membeli Octopus Card untuk menikmati jaringan kereta bawah tanah. Anda tinggal deposit sejumlah uang untuk mengongkosi Anda mondar-mandir. Selain murah, Anda juga dapat tiba lebih cepat dan anti-kesasar deh. Soalnya, petunjuk jalannya sangat jelas. Bahkan, jalan keluar setiap stasiun juga mengarahkan Anda langsung ke jalan yang dituju.
Cuma ya, penumpang jaringan kereta bawah tanah ini jumlahnya bejibun. Saya sih nggak khawatir copet, saya lebih khawatir (seringnya) nggak dapat kursi setelah berjalan jauh. Nah, soal tarif, MTR boleh diadu deh. Misalnya, saya dari Tsim Sha Tsui ke Kowloon, melewati lima perhentian, hanya membayar sekitar 4 – 6 dollar Hong Kong.
Menurut saya, tarif MTR ini jauh lebih murah ketimbang harga air botol kemasan di toko ritel yang bisa mencapai 8 – 12 dollar Hong Kong (600 ml – 1 liter). Mahal banget. Bahkan, soft drink seperti Coca cola, Sprite dan kawan-kawannya masih lebih murah, yakni 7 dollar Hong Kong. Kalau Anda menginap di hotel dengan fasilitas air galon, sebaiknya bawa persiapan deh.
Murah, meriah, merekah
Karena harga murah, bikin pasar meriah dan senyum kita pun merekah. Kesan itu yang saya dapat di Hong Kong untuk belanja produk fesyen, kosmetik dan makanan. Di pasar tradisional, harga memang murah (dijamin) dan bisa ditawar. Asal jangan kejam-kejam banget ya, bisa-bisa didamprat penjualnya. Tetapi, di mall pun, pakaian bermerek seperti yang ada di Jakarta, dilego jauh lebih murah. Saya beli kaus di H&M seharga Rp 120 ribu. Kalau di Jakarta, sekelas Forever 21 saja minimal Rp 170 ribu-an.
Harga kosmetik juga murah. Beberapa merek bahkan dijual 4 kali lipat lebih murah ketimbang di Jakarta. Saya sempat membeli body lotion, cat kuku dan produk turunannya, dan parfum. Asli.
Kalau hostel saya terbilang mahal, hitung-hitung subsidi silang lah ya, untuk makanan dan jajanan bisa dibilang murah. Saya tidak pernah melewatkan kesempatan menyantap daging babi. Mulai dari mie dengan daging babi, bubur dengan daging babi. Saya sendiri pecinta Chinesse Food. Jadi, jangan tanya enak atau tidak ya! Saya pasti jawab, enak banget.
Yang paling khas dari Hong Kong adalah jajanan tusukan. Mulai dari tusukan olahan daging babi, ikan, makanan laut, sampai minuman dengan bubble, seperti Cha Time dan Quickly. Ini favorit banget loh. Saya mencicipi hampir setiap hari jajanan tusukan ini. Maklumlah, di Jakarta, makan daging babi sambil berjalan tidak wajar.
Produk elektronik juga dijual murah di Hong Kong. Saya mendapati harga iPhone 5S Rp 7,2 juta (setelah dirupiahkan) dengan kondisi baru, bergaransi, namun factory lock. Ah, untuk meng-unlock kan cuma Rp 200 ribu ya di ITC kuningan. Hehee. Hampir seluruh ponsel pintar banting harga loh di Hong Kong. Termasuk juga, televisi, tablet, dan laptop dijual dengan harga miring.
Selamat berlibur!
Juni 26, 2014
November 16, 2012
Sendu, Kecantikan Teluk Ha Long
Sudah menjadi salah satu cita-cita saya menyambangi Teluk Ha Long atau yang populer disebut Ha Long Bay. Kecantikan area seluas 1.553 km2 yang terletak di Provinsi Quang Ninh, Vietnam, ini berhasil menyihir saya sejak pertama kali saya mendapati beberapa gambarnya di dunia maya.
Dan akhirnya, barulah pada 3 November 2012, saya dan empat sahabat lainnya berkesempatan juga mengunjungi wilayah yang didapuk menjadi salah satu world heritage versi Unesco tersebut. Untuk sampai ke Ha Long Bay, saya pertama-tama tiba di Hanoi, ibukota Vietnam.
Saya dan empat sahabat saya memutuskan menyewa jasa tour and travel setempat untuk menikmati Ha Long Bay. Selain harga yang ditawarkan tak jauh berbeda, perjalanan menjadi lebih ringkas dan hemat waktu. Saat itu, kami dipatok merogoh kocek 105 dollar AS per orang, dengan fasilitas yang diberikan menginap dua hari satu malam di kapal pesiar mini, makan 5 kali, wisata gua, kayaking, serta pantai. Selidik punya selidik, harga itu masih bisa ditawar yang antara lain bergantung musim. Beruntung, November bukanlah high season atau peak season. Harga yang kami peroleh boleh dibilang murah.
Saya dan empat sahabat saya dijemput dari hotel kami menginap di distrik Hoan Kiem, Hanoi. Sekadar informasi saja, tempat ini merupakan pusat kota yang dikelilingi oleh berbagai wisata sejarah, seperti kuil terapung, Cathedral, pasar malam hingga pusat kuliner lokal. Wisata makan dan belanja pernak-pernik lokal adalah aktivitas paling murah dan menyenangkan yang bisa dilakukan.
Oh ya, menyambung perjalanan ke Ha Long Bay. Kami dijemput petugas tour and travel menggunakan mini bus berkapasitas 22 penumpang. Kami berbaur dengan sekitar 18 turis lainnya, empat orang turis asal Filipina, dua orang dari Taiwan, dua orang Spanyol, tiga orang Inggris, empat orang Jerman, satu orang Perancis, satu orang Austria, satu orang Kanada, dan kami berlima dari Indonesia. Satu persatu kami memperkenalkan diri dalam perjalanan darat menuju Ha Long Bay.
Dari Hanoi menuju Ha Long Bay berjarak sekitar 170 km. Tetapi, butuh kurang lebih empat jam untuk sampai ke dermaga Bay Cai. Maklumlah, supir yang bertugas mengantar kami mengemudi dengan kecepatan di bawah 60 km per jam. Serius!
Dari Bay Cai, kami sudah bisa melihat pulau karang atau banyak orang juga menyebutnya lagun. Kami dibawa ke kapal kayu bermotor dengan kapasitas sekitar 20 penumpang. Hanya 5 menit dari Bay Cai, kami diantar masuk ke Dragon Star Cruise, sejenis junk atau sederhananya kapal pesiar mini ala penduduk lokal. Ada sekitar 7 atau 8 kabin kamar di dalamnya, satu restoran dengan mini bar, dan terdapat dapur di bagian belakang dek. Di atas dek, terhampar ruang terbuka cukup luas untuk turis bersantai.
Selesai berkeliling kapal, kami hanya diberi waktu sekitar 30 menit untuk melepas lelah di masing-masing kamar, sambil berbenah tentunya, sebelum bersantap siang bersama dan wisata gua. Ah, kamarnya mewah sekali. Tempat tidur dan kamar mandinya nyaman dan bersih. Menurut saya, 105 dollar AS, tidak ada artinya.
Cave of Surprises
Sung Sot Cave atau Cave of Surprises. Begitulah, petugas tour and travel kami menyebut gua yang dikunjungi. Menurut sejarah, gua yang terletak di Bon Hon Island ini gua terbesar di Ha Long Bay. Perlu menaiki puluhan anak tangga untuk bisa sampai di mulut gua. Agak melelahkan memang!
Kendati begitu, pemandangan di dalam gua cukup membayar loh. Petugas tour and travel mengatakan, pengunjung harus memiliki daya imajinasi yang tinggi untuk dapat melihat bentuk-bentuk karang yang antara lain, menyerupai dewi Kwan Im, Budha, Naga, dan lain sebagainya. Dan, benar saja. Beberapa kali saya mendapati batu karang yang dimaksud.
Selesai dari gua, kami dibawa menikmati sore dengan kayaking. Perahu kayak hanya menampung dua orang. Sehingga, kami harus berpencar dengan turis lainnya. Awalnya, saya dan Ocha sempat bingung dengan aktivitas ini. Tidak ada satu pun dari kami yang mengerti caranya mengayuh perahu kayak, sampai lama kelamaan kami menguasai.
Meski cuaca sore itu mendung, ada banyak kayak lalu lalang mengitari pulau karang terdekat. Konon, nyaris 2.000 pulau karang tersebar di Ha Long Bay, 435 tanaman, 22 spesies hewan laut, 76 spesies burung, 315 spesies ikan dan 234 jenis koral. Sayang, satu jam berlalu cepat sekali, dan kami harus kembali ke kapal masing-masing.
Romansa Malam di Ha Long Bay
Usai kayaking, peserta bersih-bersih dan diminta kumpul untuk makan malam. Asal tahu saja, aktivitas satu ini bukan sekadar mengisi perut, tetapi juga memanjakan lidah. Makanan yang disajikan benar-benar istimewa. Mulai dari, udang, cumi, ikan, dan babi, hingga spring roll yang diklaim sebagai makanan khas penduduk setempat.
Selesai makan, turis bebas melakukan aktivitas apapun di kapal. Sebagian kembali ke kamar masing-masing, sebagian yang berasal dari satu negara berkumpul bersama, ada juga yang mengobrol dan bertukar di dek atas. Saya, Ocha, dan sekeluarga Filipina memilih berkaraoke ditemani berkaleng-kaleng bir dan petugas kapal.
Seru sekali! Sampai waktu menunjukkan pukul 11 malam, dan satu persatu peserta berhamburan dan masuk ke kamar masing-masing.
Esok paginya, kami diajak mendaki tebing. Dari puncak tebing, pengunjung bisa melihat pemandangan ke sekitar Ha Long Bay. Dilanjutkan aktivitas selanjutnya, berenang di pantai setempat. Sayang, selain karena cuacanya yang relatif dingin, yakni 18 derajat celcius, pantai yang kami kunjungi juga tidak se-cantik yang dibayangkan. Batas aman berenang cukup pendek. Jadilah, saya sebagai penonton sambil meringkuk kedinginan.
Honeymooners pasti suka menghabiskan waktu di Ha Long Bay. Pertama, karena tidak ada hiruk pikuk seperti di Hanoi. Sangat tenang. Kedua, baik pagi, siang, sore, ataupun malam, suasana Ha Long Bay sangat romantis. Sendu dengan tabur cahaya matahari ataupun bulan.
Mei 30, 2012
Tempat Sampah
Tempat sampah, sesederhana artinya, adalah tempat barang-barang yang tidak lagi berguna. Dia menelan semua sisa makanan dan barang yang tidak berguna. That's it!
Tetapi, apakah kalian menyadari, betapa bahayanya apabila tempat sampah itu berada di tangan yang salah. Misalnya, tempat sampah di kamar saya berpindah ke ruangan lain. Lalu ibu saya mendapati bukti transferan dalam jumlah besar ke rekening saya, tidakkah dia mencurigai dan akan menghujani saya dengan sederet pertanyaan? Atau, katakanlah ada bukti tes kehamilan saya di dalamnya? Atau faktur penjualan mobil?
See! Betapa tempat sampah tidak hanya penyimpan sementara rongsokan sebelum ke tempat pembuangan akhir. Dia menyimpan rahasiaku, rahasiamu, rahasia kita. Tagihan menginap semalam di hotel terpampang jelas di billing-statement kartu kredit, atau struk pembayaran sebotol vodka, atau catatan medis yang menyatakan penyakit kritis tertentu yang kita derita dan ingin kita sembunyikan dari orang sekitar, atau kondom bekas pakai.
Jadi, meski artinya sesederhana itu-dengan beragam bentuk dan ukurannya, ketahuilah dia menanggung kerumitan manusia. Aku cuma ingin bilang itu saja :)
Mei 24, 2012
Femi
Lesbi. Kata itu melintas ketika aku mulai dekat dengan Femi (RIP), sekitar pertengahan tahun 2010 lalu. Bagaimana tidak? Sejak Raymond mempertemukan kami, aku mendadak dekat dengan Femi. Begitu juga sebaliknya. Memang, kami bekerja di kantor yang sama. Tetapi, kedekatan kami berlanjut hingga di luar jam kantor. Padahal, setahuku, teman perempuannya di kantor hanya hitungan jari. Ia malah lebih sering bergaul dengan teman laki-lakinya.
Di kalangan kantor, Femi terkenal sebagai jurnalis cerdas, pekerja keras, dan berdedikasi tinggi. Pengalamannya jauh di atas jam terbangku. Ia senior, juga editor. Sementara, aku anak baru, reporter. Tetapi, ia tidak memandangku sebagai anak bau kencur. Ia malah bersikap baik dan menyenangkan. Sedikit banyak, aku merasa besar kepala. Dari sekian banyak reporter yang lebih dulu ia kenal, ia memilihku menjadi temannya.
Kami sering menghabiskan waktu bersama, ngobrol, atau sekadar menyesap bir. Rasanya, kami sudah lama saling mengenal. Tak heran, tanpa Raymond sekalipun, aku dan Femi tak pernah kikuk atau kehabisan bahan obrolan. Pernah, kami berdua melarikan diri ke pinggir dermaga di Ancol. Dalam hening, hanya suara angin bergemuruh, kami menikmati senja berjam-jam. Sampai mentari sembunyi, barulah kami sadar hari sudah sangat gelap.
Usiaku dengan Femi terpaut 2-3 tahun. Aku lebih muda, tentu saja. Tetapi, ini bukan alasan untuknya membayar setiap tagihan makan dan minum kami. Selalu. Ia hanya tak pernah membiarkanku melakukannya. Oh, terkecuali, ketika aku memiliki voucher untuk nonton dan jajan di gerai tertentu. Ahaaaha. Aku tidak pernah tahu alasannya, aku juga tidak tahu apa ia memberi perlakuan serupa kepada teman-temannya yang lain.
Aku tahu, ia baik. Aku tahu, ia cerdas, sampai menyanggupi dua pekerjaan dalam waktu bersamaan; mengedit laporan reporter-reporternya, dan menulis buku. Sedikitnya, ada 11 karya tulisnya yang berhasil dibukukan. Aku tahu, ia berasal dari jogja, penerima beasiswa dan mengikuti fellowship hingga ke Eropa. Tetapi, aku tidak tahu kehidupan cintanya. Sampai suatu hari aku berpikir, apakah mungkin ia seorang lesbian? Ia mendekatiku dan bersikap baik lantaran menyukaiku.
Serius!
Aku malah sempat menyampaikan kekhawatiranku ini pada dua orang temanku yang lain. Maklumlah, selain karena sifat jelekku yang selalu curiga atas kebaikan yang kuterima, beberapa rekan kerja perempuan di kantor juga pernah bernada agak sengit ketika tahu aku dan Femi berteman. Nyatanya, aku tak ambil pusing. Baru belakangan, aku tahu, ia mengagumiku karena sifat humoris, dan spontanitasku. Itu menghiburnya.
Ada beberapa tulisan singkat tentang aku di blog pribadinya. Umumnya, tulisan itu mengulas waktu kebersamaan kami. Yang kutangkap, ia menyukai selera humorku yang sarkastis, ia juga menyukai beberapa kemiripan di antara kami; sangat menyayangi kakak perempuan kami masing-masing, dan pecinta anjing, di samping kebiasaan lain, seperti gemar menyantap berbagai jenis daging babi dan sanggup menghabiskan berbotol-botol bir semalaman.
Akhir tahun 2010, Femi memutuskan pindah dari harian bisnis dan investasi ke portal media asing. Ia mengatakannya padaku 2-3 minggu sebelum kepindahannya itu, sembari menawarkan meja yang telah menopang sikutnya selama tujuh tahun belakang. Ia menawarkannya, tanpa aku meminta. Walaupun, ada sekitar 4-5 rekan lain yang berebut untuk menduduki bekas pantatnya. Mungkin, karena posisinya menghadap ke luar jendela.
Kepindahan Femi, ternyata tidak membawa perubahan bagi pertemanan kami. Kami masih berkirim sms, bbm, twitter, facebook, hingga email. Kami bertemu untuk bertukar kabar, menenggak bir, atau nonton. Sesekali, Raymond ikut serta. Kami juga beberapa kali pernah secara tidak sengaja bertemu ketika sedang meliput. Sayangnya, pertemuan yang tidak direncanakan tidak pernah berakhir mulus, kesibukan masing-masing menghalangi.
Terakhir kali, kami bertemu di acara liputan ulang tahun vespa. Femi datang untuk meliput, sedangkan aku datang karena hasrat dan kecintaanku pada sepeda motor lisensi Italia tersebut. Boleh dibilang, meski Femi yang berniat mencari berita, aku tampak lebih sibuk. Aku sibuk mengagumi, mungkin. Aku sibuk menagih goody bag berisi merchandise berbau vespa kepada penyelanggara acara. Aku berkeliling (test ride) dengan vespa edisi terbaru, sementara Femi sibuk wawancara.
Sampai acara makan siang selesai, Femi berpamitan. Aku masih saja kegirangan dengan pengalamanku menunggangi vespa edisi terbaru dan memamerkan sejumlah merchandise berbau vespa yang kuperoleh; sweater, topi, flashdisk, pulpen, dan notes. Lagipula, hari itu, aku bersama teman lain, dan dua rekan jurnalis yang kukenal di komunitas vespa. Semakin terbagilah perhatianku. Yah, hari itu sangat menyenangkan buatku.
Kemudian
Senin, 7 Mei 2012. Saat itu, hari keduaku di Bandung untuk tugas resmi dari perusahaan. Aku berkicau lewat social media, twitter. Femi mengomentari kicauanku itu. Dan, aku membalasnya. Singkat saja. Bahkan, terkesan basa-basi. Kemudian, keesokan harinya, tepatnya di malam hari, kami membicarakan kelanjutan Revenge, serial favorit di kanal televisi berbayar.
Aku jatuh cinta pada Daniel; ketampanannya dan sikap lemah lembutnya. Sementara, Femi menyukai Nolan, yang menurut penglihatannya keren. Hahaa. Sejujurnya, aku mencela seleranya itu. Sayangnya, dia membalas dengan ketus. Tapi tidak ada yang terlalu serius. Semakin larut, lalu perbincangan berakhir begitu saja. Aku tertidur, dan entah bagaimana ia juga tidak memaksaku lebih lelah lagi untuk terjaga.
Rabu, 9 Mei 2012. Pk 14.35 WIB aku tiba dari Bandung. Aku menikmati makan siangku yang tertunda, dan bersantai. Selang empat jam kemudian, aku membaca berita tentang hilangnya pesawat Sukhoi. Ituloh, produsen pesawat tempur yang baru pertama kali menciptakan pesawat penumpang. Mencengangkan. Karena, Rusia bukan cuma canggih, tapi ada nama besar Sukhoi dibaliknya.
30 menit setelahnya, lini masa twitter dipenuhi dengan ucapan duka dan doa kepada penumpang pesawat Sukhoi yang hilang. Ada nama Femi di antara barisan nama-nama penumpang lainnya. Aku terkejut bukan main. Perasaan tidak percaya, takut, khawatir, dan marah bercampur aduk. Aku mencoba menghubungi Femi lewat telepon genggamnya, mengirimkan bbm. Tidak ada hasil. Aku menghubungi Raymond untuk mencari kebenarannya. Nihil.
Jumat, 11 Mei 2012. Beberapa teman berinisiatif menggelar kebaktian untuk mendoakan Femi. Padahal, saat itu belum ada kejelasan korban tewas atau selamat. Tadinya, aku berharap, ia masih bertahan. Aku berkeras begitu. Namun, keadaan memaksaku menyerah. Bukan untuk siapa-siapa, tetapi diriku. Aku mulai berserah, melafalkan doa dan puji-pujian dalam kebaktian kecil itu. Tak sadar, bulir airmata menetes, hangat.
Hasta La Vista
Rabu, 23 Mei 2012. Keluarga Femi (diwakili oleh mba Esti-kakak Femi) menggelar misa terakhir di Rumah Duka RS Harapan Kita. Aku datang, dan mengikuti sembah-Yang secara Katolik. Disitu, ada sekotak peti berpelitur cokelat tua. Femi ada di dalamnya. Sebetulnya, aku berharap bisa melihatnya, menciumnya dan mengucapkan selamat jalan. Sayangnya, peti itu tidak diperkenankan dibuka. Mba Esti-lah orang terakhir yang melihatnya.
Aku duduk di antara para pelayat. Aku bahkan tidak mengenal orang di samping kanan dan kiriku. Suasana begitu khusyuk, hingga lembaran kertas (tata cara ibadah) dibalik pun terdengar nyaring. Semua orang bernyanyi, mengucapkan puji-pujian, dan bernyanyi lagi. Tetapi, aku terpaku memandangi foto di depan peti Femi. Rasa-rasanya, aku tidak percaya jika malam ini aku kehilangan satu suara yang tertawa setiap guyonan meluncur dari mulutku.
Sungguh aku benci rumah duka. Semua wajah tampak begitu tegang dan sedih. Semua mata basah. Bahkan, mereka yang berdiri mengucapkan kesan terakhir seolah-olah mengiring para pelayat untuk menangis. Aku bertahan sampai misa bubar, dan satu per satu dari berhamburan keluar ruangan. Thank God, aku cuma butuh udara segar dan rokok.
Ketahuilah, mba (panggilanku kepada Femi)! Meski kau tersenyum bahagia di atas sana, mungkin kau tidak akan pernah tertawa terbahak-bahak lagi. Karena, kau tidak akan menemukan orang sepertiku di surga. Selamat jalan! Hasta la vista. Tuhan memberkatimu. Sampai kita bertemu lagi. Aku menyayangimu, Femi Adi Soempeno.
Maret 28, 2012
A Sister By Blood, A Friend By Choice
Sebetulnya, saya tidak suka memulai tulisan dengan awalan kata 'ketika'. Tetapi, kata sederhana itu telah menginspirasi saya membuat tulisan ini, tulisan yang dialamatkan kepada satu-satunya kakak perempuan terbaik yang pernah saya miliki. Selamat membaca!
Ketika itu, saya duduk di kelas empat SD, dan Donna, kakak saya di kelas enam SD. Saya ingat sekali, sedih bukan main saat orangtua Nita dan Rian, kolega orangtua saya mengajak Donna dalam acara liburan keluarga mereka. Padahal, nama saya tidak masuk dalam daftar. Orangtua Nita dan Rian memang menyukai Donna. Di mata mereka, Donna tidak saja anak yang baik, tetapi juga sangat menggemaskan (baca: cantik). Sementara saya, berkulit gelap, kurus, memiliki banyak bekas luka, dan tidak menggemaskan.
Pagi itu, di hari libur anak sekolah, orangtua Nita dan Rian sudah menyambangi rumah saya untuk menjemput Donna. Mereka akan ke tanah Jawa (saya agak lupa lokasi tepatnya). Orangtua saya menyambut mereka dengan wajah sumringah. Donna pun sudah mengenakan pakaian terbaiknya, dan sisiran yang rapih. Sementara saya, berdiri di balik gorden pemisah ruang tamu dan lorong kamar, melihat pemandangan yang menyakitkan hati saya. Pernahkah kalian berharap menjadi anak yang tidak menggemaskan? Yang tidak diinginkan?
Itulah kali pertama selama beberapa hari, saya menjalani malam-malam tanpa Donna. Saya kehilangan ritual sebelum tidur, yakni menghisap ibu jari dan saling memilin (menggulung-gulung) rambut masing-masing sambil membicarakan kenikmatan es krim Conello-Walls yang pada saat itu populer. Seingat saya, dua atau tiga hari itu adalah hari-hari yang sangat tidak menyenangkan. Saya menunggu dia kembali secepatnya. Saya berharap dia kembali secepatnya.
Kami pergi ke sekolah yang sama setiap hari. Kami selalu berangkat dan pulang bersama, mengenakan sepatu yang sama, bahkan kaus kaki yang sama. Kotak makanan dan minuman kami pun sama, meski terkadang berbeda warna. Tanpa seragam sekolah pun, orangtua kami berusaha keras mendandani kami dengan model pakaian serupa. Kami bukan si kembar. Kami membencinya, namun lambat laun kami mulai menikmatinya.
Secara emosional, hubungan kami dekat. Sangat dekat mungkin. Sampai-sampai kami memiliki kesamaan pandangan terhadap orangtua kami. Bagi kami, saat orangtua tidak bisa memahami, seorang saudara selalu bisa. Pernah satu hari, kami berdua melarikan diri dan tersesat di terminal bus, padahal hari sudah gelap. Ketika itu, orangtua kami bertengkar dan menghardik satu sama lain, yang ujung-ujungnya melampiaskan kemarahan mereka kepada kami.
Usia saya dan Donna terpaut kurang dari dua tahun. Mungkin, itu salah satu faktor yang membuat kami bisa berteman baik. Meski demikian, kami sering juga selisih paham karena pinjam-meminjam baju atau tas atau asesoris. Tidak tegur sapa menjadi hal biasa, tetapi itu pun hanya bertahan tidak lebih dari tiga hari. Kebanyakan, Donna yang terlebih dahulu menunjukkan sikap mengalah. Ya, dalam hal-hal seperti ini, dia memang jauh lebih dewasa ketimbang saya.
Hingga beranjak remaja, saya dan Donna masih berbagi banyak hal; kasur, bantal, make up, sampai uang. Tanpa perjanjian tertulis, saya kebagian tugas mengantar dan menjemput Donna kemana pun, sedangkan dia mengambil alih pekerjaan rumah yang biasanya ditujukan untuk saya, seperti mengambilkan gantungan pakaian atau sesuatu dari kulkas ketika ibu meneriakkan nama saya, atau juga memberi makan anjing-anjing peliharaan kami.
Hukum tidak tertulis kakak-beradik tersebut rupanya berlanjut hingga kami dewasa. Saya mengantar dan menjemput Donna, ke dan dari tempat kerja, tempat les bahasa Italy, atau mall ketika dia tengah berkumpul bersama teman-temannya. Dan, seperti saya telah ungkapkan di atas, tugas mencuci piring, mengambil gantungan, atau memberi makan peliharaan kami pun diambil alihnya. Cukup adil bukan?
Kami saling bertukar rahasia. Mengatakan dan menyimpannya rapat-rapat. Saya tahu betul daftar panjang laki-laki yang pernah menjadi incaran dan yang berhasil dikencani Donna. Siapa-siapa saja teman-teman dia yang menyenangkan dan yang menyebalkan. Begitu pun sebaliknya. Kisah-kisah itu mengalir begitu saja menjelang saat tidur tiba. Yang perkembangan informasinya akan dilanjutkan keesokan malamnya. Selalu seperti itu.
Sedikit-banyak, saya mempunyai pengaruh untuk menentukan mereka yang menjadi pacar dan teman Donna. Dukungan akan mengalir deras apabila mereka berhasil merebut hati saya, sama derasnya dengan upaya menjatuhkan jika saya tidak menyukai mereka. Ahaahahaaa.. Ini mengingatkan saya kepada Gomos, laki-laki tambun yang menggilai Donna, tetapi selalu menjadi sasaran empuk olok-olokan saya.
Padahal, kalau mau dirunut, Donna tidak membatasi pergaulan saya yang jauh lebih luas ketimbang yang dimilikinya. Dia hanya sesekali mengomentari laki-laki yang dekat dengan saya. Selebihnya, saya dibebaskan memilih. Terdengar egois, I know. Mungkin, karena saya merasa tahu lebih banyak soal pergaulan, karena saya merasa lebih jeli memilih mana yang membawa pengaruh baik dan membuang mereka yang membawa pengaruh jelek.
Satu-satunya hal yang Donna kritisi dari saya adalah kesulitan saya menabung. Uang saya selalu habis untuk; membelanjakan yang tidak perlu, menraktir teman-teman, dan jalan-jalan. Itu karena, dia tahu persis pendapatan saya lebih besar daripada yang diperolehnya. Maklum, dengan pendapatannya, dia merasa lebih bijak dalam menghabiskan uangnya, seperti berinvestasi dengan membeli emas dan asuransi jiwa.
Kata 'iri' tidak ada dalam kamus persaudaraan kami. Saya dan Donna tidak pernah memperebutkan laki-laki yang sama. Sama halnya dengan program televisi yang ingin kami tonton, selalu bisa dikompromikan. Acap kali bepergian, saya selalu membawakan Donna oleh-oleh yang paling bagus, yang paling mahal dari yang saya belikan untuk teman-teman, bahkan diri saya sendiri. Donna tidak begitu. Tetapi, itu pun tidak pernah membuat saya jera.
Kenyataannya, karakter kami memang berbeda. Saya mencerminkan seorang perempuan keras kepala, pembangkang, egois, emosional, dan ambisius, tetapi penyayang. Sementara, Donna terkenal penurut, lemah lembut, dan lebih sering mengalah. Secara fisik, kebanyakan orang berpendapat, kami juga tampak berbeda; saya tumbuh dengan gaya agak maskulin, pilihan baju yang jauh dari modis, sedangkan Donna, cukup feminim dengan make up, high heels dan tas jinjingnya.
17 Maret 2012, saya pertama kali menyadari betapa cantiknya kakak saya. Donna dengan balutan kebaya putih, songket keemasan, dan make up tebal ala pengantin. Saya hampir menitikkan airmata saat memandang wajahnya usai didandani. Batin saya, benarlah saya tidak mewarisi satu apapun kecantikannya. Tidak hidung mancungnya, atau tulang pipinya yang menonjol sempurna. Mari kesampingkan, tubuh pendek dan rambut teramat tipisnya terlebih dahulu. Itu pengecualian.
Hari itu Donna resmi dipersunting laki-laki yang telah dikencaninya selama dua atau tiga tahun belakangan. Adalah Eko yang kemudian menyandang status sebagai kakak ipar saya. Campur aduk. Ada perasaan bangga, bahagia, haru, dan sedih. Tentu saja, yang saya bicarakan ini, karena dia akan berganti teman tidur. Tetapi, sejujurnya, yang paling menyedihkan, dia akan hijrah bersama suaminya ke Italia.
Meski kasur menjadi lebih luas dan saya bisa menguasai bantal, itu artinya, tidak ada lagi malam curhat persaudaraan jelang saat tidur tiba. Lalu, kepada siapa saya akan mengutuki laki-laki brengsek atau teman yang tidak tahu diri? Kepada siapa saya akan merengek meminta dana talangan ditengah bulan? Atau menelanjangi diri mengungkapkan kekurangan orangtua kami? Tuhan, saya mendadak membenci hari ini. Tidakkah semuanya terasa begitu cepat. Atau mungkin, Kau memang terlampau cepat mendewasakan kami.
P.S i love you, a sister by blood-a friend by choice :)
Ketika itu, saya duduk di kelas empat SD, dan Donna, kakak saya di kelas enam SD. Saya ingat sekali, sedih bukan main saat orangtua Nita dan Rian, kolega orangtua saya mengajak Donna dalam acara liburan keluarga mereka. Padahal, nama saya tidak masuk dalam daftar. Orangtua Nita dan Rian memang menyukai Donna. Di mata mereka, Donna tidak saja anak yang baik, tetapi juga sangat menggemaskan (baca: cantik). Sementara saya, berkulit gelap, kurus, memiliki banyak bekas luka, dan tidak menggemaskan.
Pagi itu, di hari libur anak sekolah, orangtua Nita dan Rian sudah menyambangi rumah saya untuk menjemput Donna. Mereka akan ke tanah Jawa (saya agak lupa lokasi tepatnya). Orangtua saya menyambut mereka dengan wajah sumringah. Donna pun sudah mengenakan pakaian terbaiknya, dan sisiran yang rapih. Sementara saya, berdiri di balik gorden pemisah ruang tamu dan lorong kamar, melihat pemandangan yang menyakitkan hati saya. Pernahkah kalian berharap menjadi anak yang tidak menggemaskan? Yang tidak diinginkan?
Itulah kali pertama selama beberapa hari, saya menjalani malam-malam tanpa Donna. Saya kehilangan ritual sebelum tidur, yakni menghisap ibu jari dan saling memilin (menggulung-gulung) rambut masing-masing sambil membicarakan kenikmatan es krim Conello-Walls yang pada saat itu populer. Seingat saya, dua atau tiga hari itu adalah hari-hari yang sangat tidak menyenangkan. Saya menunggu dia kembali secepatnya. Saya berharap dia kembali secepatnya.
Kami pergi ke sekolah yang sama setiap hari. Kami selalu berangkat dan pulang bersama, mengenakan sepatu yang sama, bahkan kaus kaki yang sama. Kotak makanan dan minuman kami pun sama, meski terkadang berbeda warna. Tanpa seragam sekolah pun, orangtua kami berusaha keras mendandani kami dengan model pakaian serupa. Kami bukan si kembar. Kami membencinya, namun lambat laun kami mulai menikmatinya.
Secara emosional, hubungan kami dekat. Sangat dekat mungkin. Sampai-sampai kami memiliki kesamaan pandangan terhadap orangtua kami. Bagi kami, saat orangtua tidak bisa memahami, seorang saudara selalu bisa. Pernah satu hari, kami berdua melarikan diri dan tersesat di terminal bus, padahal hari sudah gelap. Ketika itu, orangtua kami bertengkar dan menghardik satu sama lain, yang ujung-ujungnya melampiaskan kemarahan mereka kepada kami.
Usia saya dan Donna terpaut kurang dari dua tahun. Mungkin, itu salah satu faktor yang membuat kami bisa berteman baik. Meski demikian, kami sering juga selisih paham karena pinjam-meminjam baju atau tas atau asesoris. Tidak tegur sapa menjadi hal biasa, tetapi itu pun hanya bertahan tidak lebih dari tiga hari. Kebanyakan, Donna yang terlebih dahulu menunjukkan sikap mengalah. Ya, dalam hal-hal seperti ini, dia memang jauh lebih dewasa ketimbang saya.
Hingga beranjak remaja, saya dan Donna masih berbagi banyak hal; kasur, bantal, make up, sampai uang. Tanpa perjanjian tertulis, saya kebagian tugas mengantar dan menjemput Donna kemana pun, sedangkan dia mengambil alih pekerjaan rumah yang biasanya ditujukan untuk saya, seperti mengambilkan gantungan pakaian atau sesuatu dari kulkas ketika ibu meneriakkan nama saya, atau juga memberi makan anjing-anjing peliharaan kami.
Hukum tidak tertulis kakak-beradik tersebut rupanya berlanjut hingga kami dewasa. Saya mengantar dan menjemput Donna, ke dan dari tempat kerja, tempat les bahasa Italy, atau mall ketika dia tengah berkumpul bersama teman-temannya. Dan, seperti saya telah ungkapkan di atas, tugas mencuci piring, mengambil gantungan, atau memberi makan peliharaan kami pun diambil alihnya. Cukup adil bukan?
Kami saling bertukar rahasia. Mengatakan dan menyimpannya rapat-rapat. Saya tahu betul daftar panjang laki-laki yang pernah menjadi incaran dan yang berhasil dikencani Donna. Siapa-siapa saja teman-teman dia yang menyenangkan dan yang menyebalkan. Begitu pun sebaliknya. Kisah-kisah itu mengalir begitu saja menjelang saat tidur tiba. Yang perkembangan informasinya akan dilanjutkan keesokan malamnya. Selalu seperti itu.
Sedikit-banyak, saya mempunyai pengaruh untuk menentukan mereka yang menjadi pacar dan teman Donna. Dukungan akan mengalir deras apabila mereka berhasil merebut hati saya, sama derasnya dengan upaya menjatuhkan jika saya tidak menyukai mereka. Ahaahahaaa.. Ini mengingatkan saya kepada Gomos, laki-laki tambun yang menggilai Donna, tetapi selalu menjadi sasaran empuk olok-olokan saya.
Padahal, kalau mau dirunut, Donna tidak membatasi pergaulan saya yang jauh lebih luas ketimbang yang dimilikinya. Dia hanya sesekali mengomentari laki-laki yang dekat dengan saya. Selebihnya, saya dibebaskan memilih. Terdengar egois, I know. Mungkin, karena saya merasa tahu lebih banyak soal pergaulan, karena saya merasa lebih jeli memilih mana yang membawa pengaruh baik dan membuang mereka yang membawa pengaruh jelek.
Satu-satunya hal yang Donna kritisi dari saya adalah kesulitan saya menabung. Uang saya selalu habis untuk; membelanjakan yang tidak perlu, menraktir teman-teman, dan jalan-jalan. Itu karena, dia tahu persis pendapatan saya lebih besar daripada yang diperolehnya. Maklum, dengan pendapatannya, dia merasa lebih bijak dalam menghabiskan uangnya, seperti berinvestasi dengan membeli emas dan asuransi jiwa.
Kata 'iri' tidak ada dalam kamus persaudaraan kami. Saya dan Donna tidak pernah memperebutkan laki-laki yang sama. Sama halnya dengan program televisi yang ingin kami tonton, selalu bisa dikompromikan. Acap kali bepergian, saya selalu membawakan Donna oleh-oleh yang paling bagus, yang paling mahal dari yang saya belikan untuk teman-teman, bahkan diri saya sendiri. Donna tidak begitu. Tetapi, itu pun tidak pernah membuat saya jera.
Kenyataannya, karakter kami memang berbeda. Saya mencerminkan seorang perempuan keras kepala, pembangkang, egois, emosional, dan ambisius, tetapi penyayang. Sementara, Donna terkenal penurut, lemah lembut, dan lebih sering mengalah. Secara fisik, kebanyakan orang berpendapat, kami juga tampak berbeda; saya tumbuh dengan gaya agak maskulin, pilihan baju yang jauh dari modis, sedangkan Donna, cukup feminim dengan make up, high heels dan tas jinjingnya.
17 Maret 2012, saya pertama kali menyadari betapa cantiknya kakak saya. Donna dengan balutan kebaya putih, songket keemasan, dan make up tebal ala pengantin. Saya hampir menitikkan airmata saat memandang wajahnya usai didandani. Batin saya, benarlah saya tidak mewarisi satu apapun kecantikannya. Tidak hidung mancungnya, atau tulang pipinya yang menonjol sempurna. Mari kesampingkan, tubuh pendek dan rambut teramat tipisnya terlebih dahulu. Itu pengecualian.
Hari itu Donna resmi dipersunting laki-laki yang telah dikencaninya selama dua atau tiga tahun belakangan. Adalah Eko yang kemudian menyandang status sebagai kakak ipar saya. Campur aduk. Ada perasaan bangga, bahagia, haru, dan sedih. Tentu saja, yang saya bicarakan ini, karena dia akan berganti teman tidur. Tetapi, sejujurnya, yang paling menyedihkan, dia akan hijrah bersama suaminya ke Italia.
Meski kasur menjadi lebih luas dan saya bisa menguasai bantal, itu artinya, tidak ada lagi malam curhat persaudaraan jelang saat tidur tiba. Lalu, kepada siapa saya akan mengutuki laki-laki brengsek atau teman yang tidak tahu diri? Kepada siapa saya akan merengek meminta dana talangan ditengah bulan? Atau menelanjangi diri mengungkapkan kekurangan orangtua kami? Tuhan, saya mendadak membenci hari ini. Tidakkah semuanya terasa begitu cepat. Atau mungkin, Kau memang terlampau cepat mendewasakan kami.
P.S i love you, a sister by blood-a friend by choice :)
Desember 01, 2011
Sihir Reruntuhan Angkor
What you don’t see with your eyes, don’t witness with your mouth. Pepatah Yahudi ini sepertinya tepat menggambarkan rasa penasaran saya terhadap taman purbakala Angkor seluas 400 km2 yang terletak di Kota Angkor, Provinsi Siem Reap, Kamboja. Karena, saya akhirnya, menyaksikan dengan mata dan kepala sendiri bekas kemegahan kekaisaran Khmer di taman purbakala Angkor. Taman dengan 50 bangunan candi tersebut mampu menyihir saya meski yang ada di kawasan ini bukanlah candi utuh, melainkan reruntuhan.
Maklumlah, pembangunan candi tersebut sudah dimulai sejak pertengahan abad ke-12.
Tak perlu panjang-lebar, mari saya ceritakan sihir reruntuhan Angkor yang mengundang kekaguman dunia internasional. Jumat (11/11) lalu, saya berkesempatan mengunjungi Siem Reap. Perjalanan melelahkan dari Phnom Penh (sekitar 8-9 jam lewat jalan darat) tidak berhasil meruntuhkan semangat saya untuk menikmati rimbun sisa-sisa sejarah yang tertinggal. Beruntungnya, hanya perlu merogoh kocek sebesar 20 USD untuk bisa masuk ke kawasan yang jadi salah satu situs warisan dunia UNESCO (1991) ini.
Saya tak berhenti berdecak kagum, bahkan sejak pertama kali menginjakkan kaki di gerbang utama Angkor Archeological Park. Tuk tuk alias motor bergerobak dengan kapasitas penumpang hingga empat orang menjadi alat transportasi yang mengantar saya berkeliling dari satu candi ke candi lainnya.
Candi-candi Angkor adalah struktur bangunan yang sarat akan simbol. Candi-candi megah itu dibangun dengan parit di sekelilingnya, berbentuk gunung, bahkan ada yang menyerupai piramida. Uniknya, seluruh batu yang digunakan untuk membangun candi memiliki ukirannya masing-masing.
Misalnya, motif ukiran Apsara atawa bidadari surga bertelanjang dada dengan pose menari mewakili kecantikan kaum hawa, kemudian motif Kala yang menampilkan wajah mengerikan tanpa rahang bawah yang ditujukan untuk melawan kejahatan, serta motif Naga alias kepala ular.
Seperti informasi yang saya peroleh dari Wikipedia, ada lima kategori candi. Yakni, Angkor Wat dan Angkor Thom, candi termegah dan terkuno dari semua Angkor. Kemudian, Little Circuit, sebagian candi di timur Angkor Thom, dan Big Circuit, candi-candi di sisi utara dan menjauh ke timur. Keempat, Rolous Group, candi yang terletak di 15 km sebelah timur Siem Reap berdekatan dengan National Highway, dan terakhir, Candi Terluar yang terletak lebih dari 20 km dari Angkor Wat.
Terletak di enam kilometer utara Siem Reap, Angkor Wat adalah salah satu monumen terbesar kekaisaran Khmer. Saya, ketika itu, masuk melalui pintu utama barat. Monumen ini terlihat luar biasa besar dan megah. Sayang, saya tidak mencapai puncak menara dan gagal melihat gopuras yang menjulang lantaran mengenakan celana di atas lutut. Hanya mereka yang memakai celana/rok di bawah lutut dan baju dengan lengan yang diizinkan menaiki puncak menara.
Tidak masalah, saya masih bisa mengunjungi Angkor Thom. Candi ini tidak kalah menarik karena wajah batu raksasa yang menghiasi menara-menara Bayon. Saya juga menyempatkan diri mengunjungi Ta Phrom yang terkenal karena pohon besarnya. Tak heran, Ta Phrom lebih mirip hutan saking banyaknya pepohonan yang menyandar pada candi-candi ini. Selain itu, ada juga Ta Keo, candi dengan tangga paling curam untuk mencapai tingkat teratas. Saya hampir kehabisan nafas ketika menaiki anak-anak tangganya.
Pesona lainnya di sekitar Angkor Wat adalah taman raksasa ini diselimuti langit luas nan biru. Meskipun, tidak jauh berbeda dengan hujan debu di Phnom Penh. Oh ya, ada lagi, yaitu wisata kuliner di gubuk-gubuk sederhana di sekitar Angkor Wat menyajikan makanan yang lezat, termasuk wisata belanja yang, demi Tuhan, relatif murah. Mulai dari pakaian, selendang, pernak-pernik, kartu pos, gantungan kunci, tempelan kulkas, topi, benda-benda seni dijual mulai dari 50 sen sampai 8 USD.
Sayang, waktu serasa cepat berlalu, dan membatasi kegiatan saya di hari itu. Alhasil, saya hanya berkesempatan mampir ke satu candi megah lainnya untuk melihat matahari terbenam. Sialnya, candi terakhir yang saya datangi terlalu padat pengunjung. Alih-alih melihat matahari terbenam, saya malah melihat tumpukan kepala para wisatawan di puncak menara. Ah, tetapi saya berusaha untuk menikmati akhir dari petualangan hari itu. Walaupun, saya yakin, saya pasti akan kembali ke sana suatu hari nanti.
Oktober 28, 2011
Para Agen Asuransi Itu Lebih Bertanggungjawab Dibandingkan Bakrie Life
Jika pemilik Bakrie Life bisa seenak jidatnya ingkar janji mengembalikan dana nasabah, tidak demikian dengan para agennya. Di tengah keterbatasan penghasilan, mereka berupaya mengembalikan dana nasabah Bakrie Life.
Enam tahun lalu, Oki Mulyades boleh tersenyum lebar. Ia berhasil menorehkan prestasi sebagai Best Financial Consultant di Asuransi Jiwa Bakrie. Iapun dengan mudah memperoleh pundi-pundi penghasilan menjadi agen Bakrie Life.
Tapi kini cuma perasaan malu yang menggelayut diri pria berusia 26 tahun ini. Sanak saudaranya menuntut hak pembayaran Bakrie Life. Maklum, dahulu Oki banyak menjual produk Bakrie Life ke mereka dan juga ke teman-teman dekat.
Walhasil, agen asuransi jiwa bersertifikat resmi Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) dengan nomor lisensi 012119 ini pontang-panting mengurus pencairan dana nasabah. Salah satu kontrak mereka berakhir November 2010. "Paman saya adalah nasabah all life assurance Bakrie Life dengan nomor polis 03-41.2004.07672. Seharusnya memperoleh manfaat nilai tunai pada akhir tahun lalu. Alih-alih mencairkan benefit, perusahaan penanggungnya malah tersandung masalah," ujar Oki kepada KONTAN, kemarin.
Padahal, terdapat 15 polis dari 10 orang sanak saudara dan rekan sejawatnya. Masing-masing polis itu berbeda manfaat satu dengan yang lain. Sebagian mengambil all life assurance, personal accident, hingga education plus assurance untuk anak-anak mereka.
Nasi sudah menjadi bubur. Oki patah arang mendengar perusahaan tempatnya berkarier dahulu bak telur di ujung tanduk.
Oki yang memulai karier dari kantor cabang Bandung, Jawa Barat, itu diminta memperjuangkan hak nasabah yang ditangani. "Aneh rasanya menagih janji manfaat nilai tunai yang hanya secuil ke perusahaan asuransi kelompok usaha kelas kakap," terang Oki.
Lena punya cerita lain. Mantan karyawan bank ini berniat membantu Aan, rekannya yang menjadi agen asuransi jiwa Bakrie Life mencari nasabah. Dia merekomendasikan Listyani agar menanamkan uangnya lewat produk asuransi jiwa berbasis investasi, Diamond Investa.
Bukannya ucapan terima kasih, wanita yang berdomisili di Bandung, ini malah harus menanggung beban moral ketika jaminan proteksi urung diterima Listyani. "Saya bukan agen. Saya serba salah ketika Listyani menuntut pertanggungjawaban," pungkasnya.
Aan selaku agen asuransi yang menutup pertanggungan Listyani menolak berkomentar. Dia mengklaim telah mengundurkan diri dari Bakrie Life sejak November tahun lalu. "Karena saya sudah tidak in charge. Silakan hubungi Iceuh di Bakrie Life," tegas Aan.
Iceuh mengaku bukan agen asuransi, melainkan karyawan Bakrie Life. Ketika dihubungi lebih lanjut, Iceuh belum bisa berbicara banyak. Dia meminta dihubungi lain waktu.
Sementara Ubaidillah harus rela hidup tanpa tabungan. Ia memiliki kewajiban lebih dari Rp 20 juta, yang berasal dari 10 nasabah Bakrie Life yang ia "prospek". Mereka adalah kerabat dan kawan dekatnya. "Gaji saya di perusahaan sekarang cuma Rp 2,5 juta. Dari 10 orang itu, saya baru melunasi satu orang sebesar Rp 2,7 juta," terangnya.
Ia mengaku tak terlalu berharap uangnya kembali. "Menurut perjanjian, jika mengembalikan polis sebelum jatuh tempo cuma mendapat setengah. Ya, mudah-mudahan benar kembali setengah, sehingga dana itu bisa untuk membayar nasabah saya yang lain," terangnya.
Sekadar informasi, sanak saudara dan rekan sejawat Oki, Ubaydillah dan Lena hanya sebagian kecil dari korban produk asuransi Bakrie Life. Aktivitas usaha Bakrie Life sendiri dihentikan sejak kasus gagal bayar terhadap 250 nasabah Diamond Investa (DI) dengan total dana mandek mencapai Rp 360 miliar.
Sebelumnya, Kepala Biro Perasuransian Bapepam-LK, Isa Rachmatarwata memperkirakan, utang tertunggak ke nasabah non-DI sekitar Rp 50 miliar. Masalahnya persis nasabah DI.
Ketika dihubungi KONTAN, Direktur Utama Bakrie Life Timoer Soetanto mengaku, Bakrie Capital Indonesia (BCI) selaku induk usaha dan kelompok usaha lain masih mengupayakan penyelesaian kewajiban. "Tetapi, kami belum berani menjadwalkan karena belum ada dana," terangnya.
Yang ironis, bukannya mendahulukan pembayaran cicilan pengembalian dana, BCI malah mengejar hak siar sepak bola Piala Dunia 2014 di Brasil. BCI rela merogoh kocek cukup dalam untuk hak siar tersebut.
Awal pekan lalu, Biro Perasuransian Bapepam-LK kembali memanggil manajemen Bakrie Life dan induk usahanya. Pertemuan tersebut kabarnya untuk menegur Bakrie Life agar segera melakukan pembayaran. Sayang, pertemuan demi pertemuan seperti menemui jalan buntu. Bakrie Life kerap angkat tangan ketika ditodong penyelesaian kewajiban. Apakah ini strategi manajemen mengulur waktu hingga regulator memutuskan mencabut izin usaha?
Jika demikian, regulator tidak lagi berwenang membujuk Bakrie Life mengembalikan dana yang hilang. Bakrie Life juga selamat dari tuntutan nasabah, kecuali membagikan aset perusahaan yang tersisa, termasuk medium secured note. Itupun, kalau surat utang tersebut benar masih ada.
Aneh, perusahaan besar dan pemegang hak siar Piala Dunia 2014, kok, tak mampu membayar dana nasabahnya yang cuma secuil.
Christine Novita Nababan diambil dari http://keuangan.kontan.co.id/v2/read/1319528315/80927/Para-agen-asuransi-itu-lebih-bertanggungjawab-dibandingkan-Bakrie-Life-
Langganan:
Postingan (Atom)